Cacing Pita Spirometra, Zoonosis yang Terabaikan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Artikel Ilmiah oleh Feri Fenoria

UNAIR NEWS – Cacing pita spirometra merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular ke manusia dan menyebabkan tanda-tanda klinis seperti reaksi alergi, peradangan kronis, dan nodul yang menyakitkan di dalam jaringan, atau penyakit akibat cacing jenis ini disebut dengan Sparganosis.

Dalam proses infeksinya, cacing yang termasuk dalam genus Spirometra tersebut membutuhkan inang, salah satu inangnya yaitu ular. Ular sendiri memiliki hubungan sangat dekat dengan manusia, mulai dari dimanfaatkannya ular sebagai hewan peliharaan hingga bahan makanan. Sehingga, kemungkinan cacing tersebut untuk menyerang manusia adalah sangat besar,

Menanggapi hal tersebut, Aditya Yudhana, drh., M.Si., bersama tim, lakukan investigasi terhadap keberadaan cacing pita Spirometra di tubuh ular Bronzeback (Dendrelaphis pictus) atau masyarakat Jawa Timur menyebutnya ular tampar atau ular tali picis.

“Kami pilih ular jenis itu, karena memang ular tersebut memiliki populasi yang besar di Indonesia, khususnya di Jawa Timur,” ujar dosen Kedokteran Hewan PSDKU UNAIR Banyuwangi tersebut.

Kemudian, ia turut menjelaskan bahwa sejauh pengetahuannya, belum ada penelitian tentang infeksi parasit Spirometra pada ular Bronzeback di Indonesia. Oleh karena itu, ia memiliki tujuan untuk melaporkan tentang prevalensi dan dampak kesehatan masyarakat dari infeksi Spirometra, dan memberikan landasan ilmiah untuk mencegah penyakit sparganosis, serta untuk lebih memahami pemahamannya tentang relevansi medisnya.

“Dengan minimnya referensi dan kajian terhadap jenis parasit ini, jadi saya rasa sangat perlu untuk memulai fokus terhadap hal tersebut,” imbuhnya.

Memanfaatkan 378 ular jenis Bronzeback yang ditangkap secara liar dan hasil budidaya, kemudian ular-ular tersebut ditidurkan atau dipingsankan menggunakan anastesi etil eter sebelum diperiksa parasit spirometranya. Hingga akhirnya akan dihitung jumlah cacing spirometra di tubuh ular untuk menyelidiki distribusi spirometra di dalam tubuh ular tersebut.

“Harus kami pingsankan terlebih dahulu, karena lokasi pemeriksaan cacing terletak di bagian jaringan otot, jaringan subkutan (lapisan kulit), dan coelom (rongga tubuh),” jelasnya.

Hasil yang didapat menyatakan, bahwa dari keseluruhan jumlah ular; 50,85% positif mengandung cacing spirometra. Dari keseluruhan jumlah ular yang ditangkap secara liar; 70,7% positif mengandung cacing spirometra. Dan dari keseluruhan jumlah ular hasil budidaya; 48,7% positif mengandung cacing spirometra. Selain itu, berdasarkan lokasi ditemukannya cacing spirometra; 56,6% terletak di jaringan otot; 29,5% berada di jaringan subkutan; dan 13,8% berada di rongga coelomic.

“Dari hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa cacing spirometra sangat berpotensi menjangkit penyakit ke manusia, karena prevalensi yang didapatkan cukup besar. Terlebih lagi jika ular tersebut hasil tangkapan liar,” ungkapnya.

drh. Adit menambahkan, bahwa cacing spirometra tersebut dapat dengan mudah berpindah ke tubuh manusia jika daging ular yang terinfeksi cacing tersebut dikonsumsi oleh manusia. Oleh karena itu, ia merasa bahwa edukasi kepada masyarakat terhadap hal-hal seperti itu sangat perlu untuk dilakukan.

“Sebenarnya memakan daging ular sah-sah saja, namun konsumsi ular yang jelas asalnya, lebih baik ular hasil budidaya. Kemudian juga hindari daging ular mentah, lebih baik dimasak terlebih dahulu. Serta, jika minat dalam memelihara hewan eksotis seperti ular, gunakan pakan alami yang sehat dan jelas asalnya,” pungkasnya. (*)

Penulis: Bastian Ragas

Editor: Nuri Hermawan

Sumber : Yudhana A, Praja RN, Supriyanto A (2019) The medical relevance of Spirometra tapeworm infection in Indonesian Bronzeback snakes (Dendrelaphis pictus): A neglected zoonotic disease, Veterinary World, 12(6): 844-848.

http://www.veterinaryworld.org/Vol.12/June-2019/18.html

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).