Oligarkhi Menjerat Ekor Jubah

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh eramuslim.com

Salah satu alasan penyelenggaraan pemilu serentak adalah untuk memperkuat sistem pemerintahan Presidensiil. Meskipun Presiden menurut UUD 1945 mempunyai kedudukan yang kuat, kebuntuan politik terbuka terjadi karena Presiden dan DPR mempunyai basis legitimasi rakyat dan kedudukannya juga sejajar.  Hal ini yang mempengaruhi stabilitas dan efektifitas pemerintahan dalam rezim Presidensial.  Pemilu serentak untuk pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan Pemilihan anggota badan perwakilan diharapkan terjadi koalisi dini, permanen dan jangka panjang, termasuk di dalamnya koalisi dalam isu-isu mendasar dalam bernegara dan menyelenggarakan pemerintahan. Sigapnya pemerintah membahas dan menyetujui inisiatif DPR untuk merevisi UU KPK dan  Presiden yang jelas menolak desakan menerbitkan Perppu atas UU KPK baru, menyematkan keraguan terhadap kekuatan politik Joko Widodo dan ragu pula terhadap komitmennya atas  pemberantasan korupsi.  Mengapa Jokowi yang tinggal menunggu pelantikan periode keduanya sebagai Presiden dengan mudah tunduk pada skenario DPR di ujung  masa jabatannya.  Apalagi pengusul revisi UU KPK adalah politikus yang berasal dari partai koalisi di Pemerintahan saat ini sekaligus koalisi dalam Piplres 2019. Pertanyaan ini menjadi relevan dengan konteks (harapan) arsitektur baru politik Indonesia pasca Pemilu serentak dengan harapan (pula) bekerjanya efek Ekor Jubah. Dengan pemilu serentak, idealnya menempatkan Presiden lepas dari ketergantungan terhadap partai politik, dimana jelas dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi  dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013, hal ini  dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial. 

Sesungguhnya sistem presidensial cenderung pada eksekutif yang mandiri (non parliamentary executive) melalui gagasan pemisahan dan pembagian kekuasaan. Dengan dominasi dan centrum kekuasaan berada di tangan  Presiden dalam kualitasnya sebagai kepala negara (nominal executive) maupun sebagai kepala pemerintah (real executive), maka tentu menikmati kenyamanan dari kemungkinan pemakzulan. Sistem presidensial yang dihantarkan dengan pemilu serentak  berasumsi bahwa suara yang diperoleh partai politik adalah imbas positif dari popularitas dan kekuatan elektoral Presiden. Dengan sumbangan kekuatan elektoral Presiden terhadap suara parpol, maka kekuasaan Presiden tepilih tidak sepenuhnya disandera oleh partai politik. Pada saat yang sama,  efek ekor jubah juga menjangkau kekuasaan badan perwakilan, sebagai hasil dari perolehan suara yang positif antara keterpilihan Presiden dan suara parpol di badan perwakilan. Hasil pemilu serentak pula secara sahih juga menunjukkan bahwa kemungkinan sangat kecil terjadi ‘divided government’ karena Presiden menguasai dukungan suara mayoritas di badan perwakilan, meskipun dibatasi prinsip tidak dapat saling menjatuhkan antara parlemen dan pemerintah. Dengan demikian isu kemampuan memerintah (governability) dan pembentukan hukum (law-making) tidak lagi menjadi hambatan pemerintahan rezim Presidensial. 

Rasanya kita sepakat bahwa efek ekor Jubah nyatanya tidak bekerja dalam bingkai pemilu serentak yang lalu, sebagaimana dapat dilihat dari perolehan suara partai pengusung masing-masing calon Presiden. Perolehan suara PDI-P pada 2019 hanya naik 0.38 persen dari Pemilu 2014 meskipun PDI-P adalah pengusung Joko Widodo.  Demikian juga PKB dimana pada 2014 perolehan suaranya adalah 9.06 menjadi 9.69 meskipun mengusung calon wakil Presiden. Tetapi tentu tidak sedikit yang mengakui popularitas dan kekuatan elektoral Joko Widodo menjadikannya figur untuk modalitas perolehan suara partai politik. Meskipun kemudian pada sisi lain partai politik mengklaim perolehan suara partainya adalah hasil dari kerja mesin politik partai dan para caleg-nya.   Idealnya efek ekor jubah memunculkan  koalisi dini, strategis dan jangka panjang sebagaimana maksud dari putusan MK mengenai pemilu serentak.  Koalisi ini dimulai sejak pre-election sebagai bentuk  perjanjian yang fundamental dalam seluruh aspek yang mendukung arah visi-misi Presiden terpilih.  Artinya koalisi tidak hanya bicara alokasi menteri kabinet tetapi juga isu-isu strategis dan fundamental yang menjadi kebijakan yang harus di perjuangkan bersama dalam pemerintahan.  Tidak adanya komitmen pre-election menjadikan Presiden terpilih masih harus tersandera agenda dan kepetingan partai politik dan elit. Alhasil presidensialisme kita dihuni oleh kekuasaan oligarkhis, yang saat ini menumpang dibalik (awalnya) populisme seorang Joko Widodo. Bila isu-isu strategis dan fundamental muncul sporadik pasca pemilu serentak dengan memanfaatkan berbagai momentum – seperti revisi UU KPK di ujung masa jabatan DPR-  maka hal ini mengindikasikan absennya  perhatian dan komitmen  dalam koalisi dini pada tahapan pre-election. Ini sekaligus menunjukkan absennya kekuatan politik presiden untuk mengontrol “koalisinya” dalam jubah kekuasaanya.

Dengan tesis bahwa efek ekor jubah tidak berpengaruh dalam penguatan sistem presidensial, maka Presiden akan tetap tersandera dalam “bargaining” sebagaimana disebut dalam putusan MK mengenai pemilu serentak.  Terlebih secara luas juga tidak diketahui publik apa sebenarnya kesepakatan strategis, fundamental dan jangka panjang dalam koalisi dini pada tahap pre-election yang disandangkan kepada Presiden. Pada titik inilah maksud dari pemilu serentak sebagaimana putusan MK, yakni hak warga negara untuk memilih secara cerdas tidak pernah tercapai. Joko Widodo tinggal melanjutkan pemerintahan berikutnya, pasti didukung mayoritas partai politik di DPR sehingga governability-nya kuat, dan jauh pula dari ancaman pemakzulan, lantas mengapa mudah abai dengan aspirasi publik – seperti dalam revisi UU KPK – dan mengikuti skenario yang dibawa DPR. Lantas siapa sebenarnya yang berkuasa, jangan-jangan penguasa sebenarnya adalah oligarkhi ; partai politik-kekuataan bisnis-birokrasi-militer yang mengutus ‘petugas partai’ berbaju populis untuk mengurus negeri ini?  

Penulis: Dr. Radian Salman, S.H., LL.M

Dosen Departemen Hukum Tata Negara FH Universitas Airlangga

Email        : radian.salman@fh.unair.ac.id

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).