Cegah Penyebaran Penyakit Rabies di Indonesia Melalui Epitope Isolate Lokal

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh IDN Times

Penyakit Rabies merupakan penyakit berbahaya yang bersifat zoonosis. Rabies pertama kali ditemukan oleh J.W. Esser di Indonesia pada masa kependudukan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1884 di Jawa Barat. Sepuluh tahun kemudian penyakit Rabies ditemukan pada manusia untuk pertama kalinya oleh E.V. de Haan. Pada kurun waktu itu penyakit rabies tidak hanya ditemukan di Jawa Barat, tetapi juga ditemukan di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan juga (kompasiana, diakses 8 Agustus 2019).

Pemerintah melalui Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dan Kementrian Pertanian sudah melakukan beberapa  upaya penanggulangan dan pencegahan penularan penyakit rabies. Langkah yang sudah dilakukan diantaranya sosialisasi dan edukasi pada masyarakat tentang bahayanya rabies, pembuatan peraturan pemerintah, pembuatan flow chart mengenai tindakan yang harus dilakukan pada penanganan Gigitan Hewan Pembawa Rabies (GHPR), dan vaksinasi massal (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2014). Namun hal ini belum bisa menanggulangi penyebaran penyakit rabies di Indonesia. Hal ini dibuktikan sejak ditemukannya kasus rabies di NTB pada awal tahun 2019. Kejadian ini menyebabkan bertambahnya jumlah provinsi yang terjangkit rabies dari 24 provinsi menjadi 25 provinsi pada tahun 2019 (kompasiana, diakses 8 Agustus 2019).

Satu hal yang diduga menjadi penyebab penyakit ini adalah seed vaksin yang digunakan untuk vaksinasi massal tidak mampu menginduksi antibody yang mampu menetralisir virus rabies yang menginfeksi dengan sempurna. Analisis homologi gen pengkode Nukleoprotein dan Glikoprotein antara virus rabies isolate Indonesia dengan virus vaksin (Virus Pasteur) menunjukkan homology score yang rendah yaitu 84-85% dan 82-83%. Sementara homology score antar isolat virus rabies di Indonesia adalah 98-99% dan 93-98% (Rahmahani dkk., 2019; Rahmahani dkk., 2018). Penemuan ini menunjukkan perlunya penggunaan isolat lokal sebagai seed vaksin untuk melawan rabies di Indonesia. Saat ini metode reverse genetic sudah sering digunakan dalam pembuatan vaksin. Epitope merupakan bagian dari antigen yang masih mampu menginduksi sintesis antibody untuk melawan penyakit. Vaksin berbasis epitope sudah sering digunakan untuk vaksinasi karena memiliki banyak keuntungan diantaranya murah, immunogenic, dan mampu mengurangi efek post vaksinasi (Ahmed dkk., 2017).

Analisis epitope yang merangsang kerja sel limfosit T dan B bisa digunakan untuk menyeleksi isolate yang bisa dijadikan kandidat seed vaksin melawan rabies. Oleh karena itu analisis epitope sel limfosit T dan B penting dalam penentuan isolate lokal yang akan digunakan sebagai seed vaksin melawan rabies di Indonesia.

METODE DAN HASIL

Sampel yang digunakan adalah otak dari anjing yang sudah di kofirmasi terinfeksi rabies. Sebanyak 9 sampel dikoleksi dari Sulawesi (Balai Besar Veteriner Maros-Sulawesi), Bali (Balai Besar Veteriner Denpasar), dan Sumatera (Balai Penelitian dan Penyidikan Veteriner Regional II Bukittinggi-Sumatera). Sampel yang dikoleksi dari setiap pulau adalah 3 sampel. Masing-masing sampel diproses menjadi suspense dengan konsentrasi 10% kemudian diproses untuk ekstraksi RNA. RNA yang telah diekstraksi diproses untuk sintesis DNA melalui Reverse-Transcriptase.

Hasil sintesis DNA (cDNA) digunakan untuk template PCR. Primer yang digunakan pada PCR mengamplifikasi gen pengkode Glikoprotein dari virus rabies (nukleotida 28-1080) dengan berat molekul 1054 bp. Hasil dari amplifikasi di proses pada agarose gel electrophoresis 1% dan diamati dibawah sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 302 nm.

Hasil dari amplifikasi menunjukkan bahwa sampel yang diisolasi merupakan virus rabies. Hal ini ditunjukkan dengan terdapatnya band dari kesembilan sampel sejajar dengan marker 1000 bp. Hasil amplifikasi dipurifikasi kemudian diproses ke sequencing untuk mendapatkan full sequence dari region yang diamplifikasi. Sequence yang telah didapat, dianalisis kemungkinan epitope sel limfosit T dan B nya menggunakan CD4 Immunogenecity Tools dan Kolaskar-Tongaonkar. Berdasarkan prediksi epitope, dua sampel yang diisolasi dari Sumatera (RABV_533 dan RABV_438) memiliki jumlah epitope yang lebih banyak dari sampel lain.

Jumlah epitope sel limfosit T dan sel limfosit B yang bisa diprediksi dari RABV_533 adalah 15 dan 13, sementara jumlah epitope sel limfosit T dan sel limfosit B yang bisa diprediksi dari RABV_438 adalah 17 dan 14. Penggunaan vaksin berbasis epitope memiliki banyak kelebihan seperti mengurangi efek samping post vaksinasi dan murah (Ahmed dkk., 2017). Selain itu epitope merupakan bagian dari antigen yang masih bisa menginduksi kekebalan, sehingga penggunaan epitope dari isolate lokal sebagai vaksin subunit bisa menjadi salah satu cara menanggulangi penyebaran rabies di Indonesia. Penelitian lebih lanjut masih harus dilakukan terkait kerja dari kedua kandidat vaksin ini dalam menginduksi kekebalan melawan infeksi rabies di Indonesia.

Penulis : Dr. Jola Rahmahani, M.Kes., drh.

Informasi detail tentang tulisan ini dapat dilihat di

http://ivj.org.in/users/members/viewarticles.aspx?ArticleView=1&ArticleID=9027

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).