Traumatik Epidural Hematoma : Masalah dan Tantangan di Negara Berkembang

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi Traumatik Epidural Hematoma. (Sumber: www.nejm.org)

Tingkat kejadian cedera otak traumatis (TBI) di negara-negara berkembang umumnya lebih tinggi. Misalnya, India memiliki rasio 160 per 100.000 orang dan untuk benua Asia 344 per 100.000 dari pada negara-negara maju. Tingkat kejadian itu diperkirakan melampaui banyak penyakit lain sebagai penyebab utama kematian dan kecacatan pada tahun 2030.

Sementara di Indonesia, dari data cedera otak yang tersedia di Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo selama 5 tahun dari tahun 2009 hingga 2013, jumlah rata-rata penderita cedera otak adalah 1.178 kasus per tahun, dengan angka kematian berkisar antara 6,171% hingga 11,22%. Angka ini lebih tinggi dari standar internasional yang berkisar antara 3 hingga 8%.

Berdasarkan tingkat keparahannya, kematian pasien cedera otak berat berkisar antara 25,13% hingga 37,14%. Angka ini relatif tinggi dibandingkan dengan literatur yang ada, yaitu di angka 22%. Di antara cedera utama akibat cedera otak traumatis, epidural hematoma (EDH) adalah salah satu yang paling mematikan. Sampai akhir 1970-an, ketika angiografi digunakan untuk diagnosis [era sebelum computed tomography (CT)], angka kematiannya adalah 30% atau bahkan lebih tinggi.

Perkembangan ekonomi dan transportasi dengan kesadaran berlalu lintas yang kurang dan masyarakat yang semakin agresif, menjadi sebagian sebab dari peningkatan jumlah kasus epidural hematoma traumatis, yang memiliki tingkat kematian yang tinggi ketika terjadi keterlambatan diagnosis. Angka kematian pasien pada awal abad kedua puluh adalah sekitar 80%, sehingga merupakan keadaan darurat bedah saraf yang mengancam jiwa.

Penemuan computed tomography (CT) scan memungkinkan diagnosis dini, yang menyebabkan penurunan mortalitas dan morbiditas. Saat ini, EDH berkisar sekitar 1% hingga 5,5% dari lesi intrakranial pada pasien dengan cedera otak traumatis, mortalitasnya mencapai 20%. Meskipun sebagian kecil pasien dengan trauma kepala mengalami EDH, kerusakan neurologis yang diamati seringkali cukup signifikan.

Diagnosis dini dan intervensi bedah saraf pada waktu yang tepat mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas, sehingga sangat penting bagi klinisi yang menangani pasien trauma kepala untuk lebih mengenal dan terlatih dalam menangani cedera jenis ini. Dengan luasnya ketersediaan fasilitas CT kranial di daerah, diagnosis dini dan intervensi bedah yang tepat waktu untuk EDH adalah gold standard yang harus dicapai.

Untuk memberikan kontribusi dalam bidang ini, sebuah laporan dari 268 kasus EDH akut dilakukan oleh Rosyidi dkk., (2019) dari Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo Surabaya, penelitian yang telah diterbitkan dalam Interdisciplinary Neurosurgery Journal (Elsevier) ini bertujuan untuk menganalisis beberapa aspek epidemiologi, presentasi klinis dan diagnosis radiologis pasien dengan hematoma ekstradural traumatis yang menjalani prosedur bedah saraf. Tujuan dari penelitian observasional prospektif ini adalah untuk menentukan insidensi, mortalitas dan hasil fungsional [diukur dengan Glasgow Outcome Scale (GOS dan Modified Rankin Scale (mRS)].

Metode penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis retrospektif dari data yang dikumpulkan untuk semua kasus trauma berturut-turut di instalasi gawat darurat (IGD) dari bulan Januari 2009 hingga Mei 2012. EDH didiagnosis dengan CT dalam semua kasus. EDH onset primer dan tertunda dimasukkan, seperti halnya pasien dengan kombinasi EDH dan lesi intrakranial lainnya (misal Hematoma Subdural). Usia, jenis kelamin, penyebab cedera, lesi intrakranial terkait, fraktur kalvaria, Glasgow Coma Scale, reaktivitas pupil, dan hasil klinis juga dicatat.

Selanjutnya, dilakukan tinjauan statistik deskriptif terhadap 268 pasien yang memiliki data lengkap yang dirawat dengan EDH dan menjalani operasi antara bulan Januari 2009 hingga Mei 2012, didapatkan rata-rata sebanyak 15,41 pasien per bulan. Dua ratus enam (77%) pasien adalah laki-laki, dengan usia rata-rata 27,1 tahun. Sebagian besar (73,86%) pasien berasal dari kecelakaan lalu lintas, 40 (14,92%) pasien karena jatuh, dan 7 (2,61%) sisanya mengalami trauma kepala akibat sebab lain.

Saat masuk rumah sakit, 81 (30%) pasien memiliki GCS 14-15, 116 (43%) pasien 9-13 dan 71 (27%) sisanya memiliki nilai GCS 3-8. Secara keseluruhan, 79 pasien (29%) memiliki pupil anisocor. Tiga puluh satu pasien (11,56%) meninggal setelah menjalani operasi bedah saraf. Hasil klinis setelah penanganan menunjukkan 85,44% (229 pasien) dengan GOS 5 (klinis baik tanpa kecacatan) dan 82,08% (220 pasien) dengan mRS 0 (tanpa gejala sisa).

Pada akhirnya, penelitian ini mengungkapkan bahwa dengan deteksi lebih dini, sistem rujukan yang baik, serta operasi awal lebih menyelamatkan jiwa pasien daripada operasi yang terlambat. Pengetahuan epidemiologi hematoma epidural traumatis ini dapat membantu dalam mengembangkan langkah-langkah kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk pencegahan dan identifikasi dini penyakit ini, sehingga bisa menekan angka kecacatan dan kematian yang terjadi di masyarakat. (*)

Penulis: Asra Al Fauzi

Informasi detail dari penelitian ini dapat dilihat di:

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2214751918302871

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).