Batik dan Dinamika Memperteguh Eksistensi Bangsa

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Semua pegawai negeri wajib memakai batik setiap Jumat atau hari apapun yang ditentukan. Ini termasuk semua pejabat tertinggi negara dan tinggi negara.

Jum’at, 2 Oktober 2009, Indonesia dengan bangga menyambut pengukuhan batik sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia (Intangible Cultural Heritage of Humanity). Selain hal itu, batik juga mendapatkan sertifikat pengesahan sebagai representasi budaya Indonesia oleh United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.

Masih terngiang dalam ingatan, sebelum pengukuhan batik sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia oleh UNESCO, batik di klaim oleh Malaysia. Tak dapat dipungkiri, klaim Malaysia atas batik sangat meresahkan perajin batik Indonesia. Klaim tersebut secara tidak langsung menjadi pemicu lahirnya Forum Masyarakat Batik Indonesia di Jakarta, yang telah sadar bahwa sudah saatnya perajin batik bersatu, menunjukkan eksistensi bahwa batik bukan sekadar budaya khas Indonesia, tetapi kekayaan intelektual bangsa, dan nafas, serta  penggerak kehidupan masyarakat Indonesia.

Sejarah Batik Indonesia

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta. Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia (khususnya suku Jawa) mulai akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19.

Mempatenkan Batik

Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil penemuannya di bidang teknologi. Paten diberikan untuk selama waktu tertentu karena melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.

Kita harus bangga, masuknya batik Indonesia dalam 76 warisan budaya nonbenda dunia. Hal ini memiliki makna bahwa kita telah mempatenkan batik sebagai warisan budaya Indonesia. Meskipun dari 76 seni dan budaya warisan dunia yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), Indonesia hanya menyumbangkan satu, sementara China 21 dan Jepang 13 warisan. Jumlah ini jangan menyurutkan rasa gembira dan rasa syukur kita.

Prosedur yang ditempuh untuk pengakuan itu dilakukan sesuai Konvensi UNESCO tahun 2003 tentang Warisan Budaya Tak Benda. Konvensi Unesco tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah melalui PP Nomor 78 Tahun 2007 dan, terhitung 15 Januari 2008, Indonesia resmi menjadi Negara Pihak Konvensi. Dengan demikian, Indonesia berhak menominasikan mata budayanya untuk dicantumkan dalam daftar representatif UNESCO.

Industri Batik dan Sumbangsihnya terhadap Perekonomian Nasional

Seolah jendela dunia bisnis terbuka lebar ketika pada 2 Oktober 2009 lalu, UNESCO mendeklarasikan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Sejatinya, inilah tantangan bagi kita untuk mengangkat batik sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat. Kebanggaan berbatik ternyata mampu membangkitkan spirit “berbatik ria” di masyarakat Indonesia. Kabarnya, penjualan batik di sejumlah gerai batik laku keras alias laris manis. Inilah euforia batik. Dengan bahasa lebih bening, euforia batik bakal lebih mendatangkan aura positif bagi pertumbuhan dan pengembangan perekonomian nasional.

Solusi Alternatif melestarikan Batik Nasional

Bagaimana kiat untuk mendongkrak batik secara ekonomis? Pertama, pemerintah sebagai komandan pertumbuhan perekonomian nasional selayaknya segera ”menabuh gong” pemberdayaan batik nasional. Caranya? Semua pegawai negeri wajib memakai batik setiap Jumat atau hari apapun yang ditentukan. Ini termasuk semua pejabat tertinggi negara dan tinggi negara.

Kedua, pemerintah juga perlu mewajibkan semua pelajar untuk mengenakan batik setiap Senin atau hari lainnya. Kewajiban ini sudah dijalankan oleh beberapa sekolah namun belum merata. Pemberdayaan model ini sesungguhnya merupakan edukasi pragmatis bagi generasi mendatang dalam pelestarian batik dan mengembangkan produk dalam negeri. Ketiga, peserta seminar, workshop dan pelatihan wajib mengenakan pakaian batik pada saat acara, termasuk dalam sidang wakil rakyat.

Berita Terkait

Dian Pratama

Dian Pratama

Ketua Himpunan Mahasiswa Akuntansi (HMA) PSDKU Universitas Airlangga di Banyuwangi 2019