G30S/PKI: Narasi, Drama dan Misteri

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh pekanbaru tribunnews

Peristiwa Gerakan 30 September PKI atau G30S/PKI merupakan peristiwa sejarah yang tidak mudah diuraikan secara ‘common sense’ sederhana. Bahkan, sampai detik ini, tiada yang benar-benar mengerti tentang kebenarannya. Jejak sejarah yang tersaji dalam buku, artikel, jurnal, maupun sumber literatur lainnya hanyalah sebuah spekulasi yang tersusun atas kronoligis tak pasti. Bahkan, tak jarang menimbulkan kontradiksi satu sama lainnya. Salah satu faktor kuat tentang mengapa rekonstruksi sejarah tentang G30S tak kunjung tuai konsensus di kalangan akademisi, sejarawan, maupun tokoh intelektual lainnya adalah karena adanya simpul-simpul peristiwa yang hilang atau memang sengaja dihilangkan. Beberapa diantaranya adalah dieksekusinya Aidit tanpa proses, dilengserkannya Soekarno atas dugaan keterlibatannya dalam G30S yang juga tanpa keputusan pengadilan tentang keterlibatan atau ketidakbersalahan Soekarno. Surat Perintah Sebelas Maret, sebuah naskah kontroversi yang dinyatakan hilang, seolah hanya menjadi diksi guna mengkudeta Sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia.

Isu Keterlibatan Soekarno

Dengan keterlibatan Soekarno, dimunculkan dari transkrip pengadilan terhadap salah satu ajudan presiden, Kolonel Bambang Widjanarko yang membuat pengakuan bahwa Soekarno telah menitipkan nota kepada Letnan Kolonel Untung pada malam sebelum kejadian, bahwa antara presiden dan para asistennya terjadi pembicaraan tentang perlunya penindakan terhadap pimpinan Angkatan Darat yang tidak loyal atau cenderung menyabot kebijakan politik Soekarno perihal konfrontasi dengan Malaysia. Sinyalemen ini, menunjukkan bahwa Soekarno menyadari adanya rencana gerakan melawan pimpinan Angkatan Darat. Menyadari hal ini, PKI kemudian melibatkan diri dan mengambil alih rencana tersebut menjadi gerakan untuk kaum komunis berasumsikan restu dari penguasa yang akan menjadikan gerakan itu menjadi unggul secara moril.

Tuduhan akan keterlibatan Soekarno tentu memicu reaksi keras dari kalangan nasionalis dan Soekarnois. Kaum Naionalis cenderung mempercayai adanya ‘intervensi’ dan ‘konspirasi’ asing (barat) dalam menciptakan ‘percobaan kudeta’. Pendapat demikian mengacu pada statement Soekarno sendiri mereaksi G30S dalam “Pelengkap Nawaksara” tertanggal 10 Januari 1967 yang menjelaskan bahwa peristiwa G30S terjadi karena ‘keblinger’nya para pimpinan PKI, menunjukkan bahwa gerakan itu merupakan rencana pimpinan partai yang salah membaca situasi, bukan gerakan resmi partai. Selain itu, lihainya subversi Nekolim, yaitu sebagaimana Barat mungkin memprakondisikan krisis 1965 melalui agen-agen rahasia dan penciptaan rumor-rumor politik serta adanya oknum-oknum(militer) yang ‘tidak benar’, mereka memanfaatkan situasi itu untuk rencana-rencananya sendiri dalam mengeliminasi komunis dan menggerogoti kekuasaan Soekarno.

Sampai saat ini, argumentasi diatas masih menjadi rumusan paling meyakinkan didukung dengan beberapa penelitian mutakhir seperti ‘Dalih Pembunuhan Massal’ oleh John Roosa yang juga mencapai kesimpulan yang tidak jauh dari penjelasan Soekarno tersebut.

Berbeda dengan Kaum Nasionalis dan wacana yang berkembang di Indonesia, para pengamat Barat cukup terbuka untuk menguji ‘Hipotesis’ keterlibatan Soekarno. Mereka melihat, G30S bukan sebuah kudeta berkaitan perebutan kekuasaan secara total. Argumentasi ini didasari oleh sebuah kenyataan yang tak dapat dinafikkan bahwasannya di Indonesia, golongan anti Soekarno termasuk para intelektual rata-rata berasumsi bahwa Soekarno ikut bertanggung jawab atas G30S dan situasi krisis secara umum yang mengakibatkan benturan. Mereka menganggap rezim Soekarno adalah pemerintahan tirani yang biasa melakukan penindasan terhadap lawan politik demi melanggengkan kekuasaan.

Mari, sedikit mengulas pendapat Soe Hok Gie, seorang aktivis mahasiswa yang fenomenal dengan keteguhan dan independesinya membuat ia menjadi sebuah nama bersejarah dalam lingkungan mahasiswa sampai saat ini. Gie beranggapan bahwa kesalahan PKI terletak pada avonturisme politik elit partai akibat terlalu bergantung pada Soekarno, sehingga ia melihat pembantaian ratusan ribu orang terduga komunis sebagai suatu tragedi kemanusiaan.

Suksesi dan Kebijakan Soeharto terhadap Soekarno

Kemunculan Soeharto sebagai tokoh sentral pasca G30S telah menimbulkan banyak spekulasi, terutama karena ia bukan kelompok inti perwira tinggi Angkatan Darat yang berpengaruh secara politis. Sejak pagi hari 1 Oktober 1965, Soeharto mengambil keputusan bahwa gerakan Untung akan menjadi dasar kuat untuk melaksanakan pembasmian massal terhadap PKI. Mengingat Soekarno berada di Pangkalan Udara Halim, Soeharto menduga bahwa Soekarno menjadi salah satu inisiator gerakan penculikan para jenderal. Karena itu, Soeharto memutuskan untuk mengambil alih komando Angkatan Darat dan mengabaikan inisiatif Soekarno.

Mengingat Soeharto dan kelompoknya telah membulatkan pikiran untuk memperlakukan G30S sebagai tindakan makar, indikasi keterlibatan presiden sebenarnya sangat problematik. Karena itu ia beberapa kali mendesak Soekarno untuk menyatakan sikap mengutuk G30S dan PKI setelah keterlibatan partai dalam gerakan itu mulai terungkap. Akan tetapi Soekarno tidak bergeming dari pandangan politiknya mengenai kaum komunis dan kontribusi ideologi Marxisme secara umum terhadap perjuangan nasionalis meraih kemerdekaan.

Menyadari keteguhan sikap Soekarno, maka Soeharto mulai melakukan strategi dengan melekatkan paradigma ganda. Disatu sisi ia mengesankan bahwa presiden melindungi kaum komunis, namun disisi lain ia tidak mau membuktikan itu melalui pengadilan terbuka berdalih menghargai sang ‘Foundung Father’ dan tidak mau menciderai kaum Soekarnois yang mungkin akan mengakibatkan konflik horizontal yang lebih jauh.

Tetapi, jika sedikit memperhatikan logika politik praktis yang dimainkan Soeharto, maka sangat memungkinkan keengganan Soeharto mengklarifikasi peran Soekarno dalam G30S terkait kebijakannya yang ‘kontra-revolusi’ dengan melindungi PKI. Bahwa bisa jadi Soeharto sebenarnya sedang bermaksud merangkul sebagian pendukung Soekarno yang anti terhadap komunis seperti bekas pengikut Tan Malaka yang beralih menjadi pendukung Soekarno maupun kalangan nasionalis berlatarbelakang priyayi. Mereka berusaha menebar wacana bahwasannya G30S yang didalangi PKI merupakan upaya penggulingan kekuasaan terhadap pemerintah yang sah.

Hal ini jelas justru mengandung asumsi bahwa Soekarno tidak menjadi bagian dari G30S. Maka setidaknya dapat diambil sedikit kesimpulan yang muaranya dari nalar berfikir dan skeptisme bahwasannya tergulingnya Soekarno bukan karena keterlibatannya pada G30S, namun akibat Soekarno bersikukuh dengan pandangannya terhadap persatuan nasional antara ideologi-ideologi yakni Nasionalis, Islamis, dan Marxisme atau dengan kata lain Soekarno menjadi korban atau yang dikorbankan karena kesetiaannya pada idealismenya. Itulah, narasi, drama, dan misteri peristiwa G30S yang sampai hari ini kebenaran pastinya masih kerap menjadi tanda tanya.

Berita Terkait

Nauval Witartono

Nauval Witartono

Mahasiswa Akuntansi PSDKU Universitas Airlangga di Banyuwangi Kepala Departemen Internal Himpunan Mahasiswa Akuntasi UNAIR Banyuwangi