Marga The: Keluarga Tionghoa Terkemuka di Surabaya pada Masa Kolonial

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh nasional tempo.co

Etnis Tionghoa adalah salah-satu etnis yang sudah lama berada di Indonesia. Banyak teori yang menggambarkan mengenai awal mula kedatangan mereka. Salah-satunya adalah teori yang mengatakan bahwa awal mula datangnya orang-orang Tionghoa ke Nusantara dapat ditelusuri sejak masa Dinasti Han (206 SM – 220 M). Pada masa itu, Tiongkok telah membuka hubungan perdagangan dengan negara-negara yang ada di kawasan Nanyang  (Laut Cina selatan).

Pada masa kolonial Belanda, Pemerintah melakukan politik segregasi yang bertujuan untuk memisahkan kelompok masyarakat yang ada di tanah jajahan. Pada masa ini,masyarakat Tionghoa ditempatkan disuatu daerah khusus yang sekarang dikenal dengan sebutan Pecinan. Masyarakat Tionghoa tidak lagsung dipimpin oleh orang Eropa, melainkan mereka dipimpin oleh seorang Kepala etnis ( Opsir ). Para opsir ini biasanya bertempat tinggal didaerah Pecinan dan bertugas mengurusi segala hal dari masyarakat Tionghoa. Di kota Surabaya sendiri pada masa Kolonial,terdapat 3 keluarga opsir Tionghoa terkemuka dan berpengaruh yang berasal dari marga Han, The dan Tjoa.

Dalam hal ini, The pertama di Surabaya adalah Kapitein The Sing Koo, The Sing Koo menikah dengan Liem Gie Nio dan mempunyai dua orang putra yang bernama The Goan Tjing dan The Goan Siang. The Goan Tjing adalah Mayor Tionghoa pertama di Surabaya. Dirinya diangkat menjadi Mayor pada tahun 1834. Mayor The Goan Tjing meninggal dalam usia 57 tahun dengan meninggalkan 8 anak laki-laki dan 4 anak perempuan.

Peran Marga The dalam kebudayaan

Di antara etnis pendatang yang tinggal di Surabaya, etnis Tionghoa dikenal sangat mudah menyesuaikan diri dan membaur dengan masyarakat setempat. Interaksi sosial dan penyesuaian diri dengan etnis lain di Surabaya menghasilkan silang budaya. Oleh karena itu pada pertengahan abad ke-19 muncul sebuah wacana untuk membersihkan adat istiadat orang Tionghoa dari pengaruh budaya masyarakat Bumiputra.

Beberapa unsur budaya tradisional Tionghoa yang dihidupkan kembali oleh orang-orang Tionghoa peranakan adalah bahasa daerah leluhur, ajaran Khonghucu dan adat-istiadat Tionghoa. Upaya menghidupkan kembali budaya Tionghoa tersebut ditandai dengan dibentuknya perkumpulan Hok Kian Kong Tik Soe.  Perkumpulan ini dibentuk pada 1862 oleh Kapitein The Boen Hie dan Mayor The Boen Ke.

Kegiatan awal dari perkumpulan tersebut diawali dengan usaha mengumpulkan uang yang digunakan untuk menyediakan peralatan untuk orang-orang Tionghoa miskin. Uang itu nantinya akan dipergunakan mereka untuk menyelenggarakan upacara pemakaman dan pernikahan sesuai dengan adat istiadat Tionghoa. Pada masa Kolonial, posisi Opsir Tionghoa sangat penting, karena tugas opsir Tionghoa selain mengawasi masyarakatnya, juga bertanggung jawab atas pemungutan pajak. Serta mengurus kelenteng-kelenteng serta membiayai upacara-upacara keagamaandan yang tidak kalah pentingnya adalah mengurus pemakaman/pekuburan.

Marga The dalam pendidikan masyarakat Tionghoa

Tokoh dari Marga The yakniMayor The Toan Ing turut andil dalam pembangunan sekolah THHT ( Tiong Hoa Hak Tong ). Dukungan The Toan Ing terhadap sekolah THHT ditunjukkan ketika ia menghibahkan tanah bekas tempat klenteng Boen Bio kepada sekolah THHT. Sekolah THHT ini pada perkembangan selanjutnya berubah nama menjadi THHK ( Tiong Hoa Hwee Koan ) pada tahun 1907. Sekolah THHK ini yang kemudian memunculkan kesadaran nasionalisme bagi orang-orang Tionghoa di Surabaya. Tidak lama setelah THHK didirikan, tepatnya pada tahun 1908 murid-murid sekolah THHK Surabaya dibawah kepemimpinan Djie Ting Hian mendirikan perkumpulan olah raga yang bernama Gijmnastiek en Schermvereeniging. Atas bantuan Djie Ting Hian dan Mayor The Toan Ing, perkumpulan Gijmnastiek en Schermvereeniging berhasil mendirikan gedung olahraga yang terletak di belakang Klenteng Boen Bio. Orang-orang Tionghoa memiliki peran yang besar bagi bangsa Indonesia, dan tidak bisa begitu saja dikesampingkan. Abad ke-20 adalah awal dari kesadaran kebangsaan di Indonesia, hal ini juga tak terkecuali bagi orang-orang Tionghoa peranakan. Dalam sejarah, orang-orang Tionghoa juga mendirikan organisasi PTI ( Partai Tionghoa Indonesia ) yang berorientasi kepada Nasionalisme Indonesia.

Berita Terkait

Bima Satria Hutama

Bima Satria Hutama

Mahasiswa Ilmu Sejarah FIB Universitas Airlangga