Indonesia dalam Bingkai Kosmopolitanisme

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Pixabay

…..

Mengapa kita saling membenci?
Awalnya kita selalu memberi
Apakah mungkin hati yang murni
Sudah cukup berarti?
Ataukah kita belum mencoba
Memberi waktu pada logika?

…..

(Naif Band, Air dan Api)

Adakah dari anda yang masih mengingat penggalan lirik lagu dari band Naif di atas?. Saya yakin anda pasti mengetahuinya, ketika mendengarkan penggalan lirik tersebut, saya merasa lirik tersebut seolah-olah mencerminkan apa yang sedang terjadi di Indonesia saat ini dan yang lalu. Ada semacam kabut kebencian yang mengisi ruang-ruang sosial kita, sehingga kita tak mampu melihat apa yang dibalik kabut dengan baik. Pikiran-pikiran kita menjadi begitu waspada dengan orang-orang disekitar kita. Kecenderungan menganggap orang lain sebagai orang jahat tumbuh bercokol di hati. Oleh karena pandangan kita dibatasi kabut kebencian. Ironinya kita tidak mencoba melihat apa yang menyebabkan kabut tersebut muncul.

Tetapi malah menyerang dengan membabi buta orang yang kita curigai sebagai penjahat. Yang pada akhirnya menumbuhkan perasaan dendam, keinginan untuk membalas. Jika hal ini terus kita rawat, bukan tidak mungkin kabut kebencian yang mengisi ruang sosial kita semakin tebal dan membuat kita semakin susah untuk melihat dengan jelas. 

Mengutip artikel berjudul “Menyiasati Trauma dan Kebencian” yang ditulis pada November 2018 lalu oleh Reza A.A Wattimena di blog pribadinya, mengungkapkan bahwa “kebencian yang dirasakan berakar begitu dalam, karena penderitaan yang mereka alami di masa-masa hidupnya. Kebencian itu lalu  diarahkan ke orang lain. Suasana masyarakat juga memberikan dukungan terhadap kebencian itu, ketika satu kelompok dijadikan kambing hitam untuk semua masalah yang ada.”

Dari kutipan artikel tersebut dapat kita pahami bahwa akar kebencian dapat terjadi dari beberapa faktor yang salah satunya adalah kondisi masyarakat. Kondisi masyarakat yang tidak ideal dapat mendukung berbagai tindak kejahatan muncul, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kebencian dari pihak yang menjadi korban. Tatanan masyarakat yang ideal dapat dibangun apabila anggota-anggota mayarakatnya menyadari bahwa mereka tidak hidup sendiri. Artinya kehidupan mereka dalam artian yang luas juga ditopang oleh eksistensi dari anggota masyarakat yang lain. Sehingga ada perasaan saling membutuhkan antar anggota masyarakat, dan bukan malah menegasikanya.

Setelah kita menyadari bahwa kita tidak hidup sendiri, masalah selanjutnya yang timbul adalah identitas sosial yang terkadang cenderung menimbulkan jarak. Jika kita dihadapkan dengan pertanyaan siapakah Indonesia?, apa jawaban yang muncul pertamakali dipikiran anda?. Atau anda jangan-jangan malah bingung dalam menentukan jawabanya, jika anda bingung dalam menentukan siapa Indonesia, kita sama. Pertanyaan ini pernah dilontarkan oleh dosen saya ketika kelas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Saya cukup kaget mendengar pertanyaan itu, karena sebelumnya saya hampir tidak pernah terpikirkan pertanyaan seperti itu. Sebelumnya yang saya pahami tentang Indonesia tidak lebih dari letak geografis dan termasuk dalam negara tropis. Pertanyaan tersebut membuka pikiran saya bahwa konsep ke Indonesia-an yang saya pahami selama ini masihlah kurang.

Berangkat dari pertanyaan tersebut saya mencoba mencari jawaban siapakah Indonesia itu dengan metode saya sendiri. Dan setelah melakukan beberapa diskusi dengan teman dan membaca beberapa literatur, saya menemukan jawaban yang cukup memuaskan untuk diri saya. Maka jika saya dihadapkan lagi dengan pertanyaan siapakah Indonesia?, jawaban saya adalah Indonesia bukan tentang siapa tapi tentang apa. Artinya Indonesia bukanlah identitas tunggal dari satu golongan, tetapi Indonesia adalah apa yang kita sebut sebagai kemajemukan itu sendiri. Indonesia tidak punya identitas tunggal yang dapat diwakili oleh siapa tetapi Indonesia merupakan identitas kita bersama. Artinya jika ada yang mengaku dia Indonesia atas dasar kepentingan golonganya maka dapat dipastikan itu bukan.  

Berangkat dari kemajemukan tersebut jika kita ibaratkan Indonesia sebagai dunia maka kita dapat menyebut Indonesia sebagai negara kosmopolitan. Kosmopolitan atau kosmopolitanisme dapat dipahami sebagai identitas dimana kita sudah tidak dibatasi oleh label-label sosial yang sebelumnya melekat pada diri kita, sebab kita telah menjadi warga dunia (Indonesia). Artinya kesadaran kita dalam bermasyarakat tidak ditopang lagi oleh identitas-identitas golongan yang dapat memberi jarak. Kesadaran kita dibangun dalam bingkai visi bersama untuk mencapai tatanan hidup yang lebih ideal. 

Terakhir satu hal lain yang mungkin dapat menjadi penyebab munculnya kebencian adalah, pikiran atau perasaan bahwa apa yang ada pada diri kita adalah lebih baik dari orang lain. Dengan pola pikir seperti ini bukan tidak mungkin jika di masa yang akan datang akan ada waktu dimana pikiran tersebut akan terwujud dengan tindakan dan ucapan yang dapat menyakiti orang lain. Maka sebagai tindakan preventif seperti yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia “seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”.

Berita Terkait

Ahmad Taufiq A M

Ahmad Taufiq A M

Mahasiswa Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga Menteri Riset dan Keilmuan Organisasi Bidikmsi Universitas Airlangga (AUBMO) 2018