Meningkatkan Kinerja Institusi dengan Fokus dan Energi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh jendela post

Prof. Barney (1991) dengan resource-based theory-nya berpendapat bahwa organisasi dengan sumberdaya yang valuable, rareness, inimitable, dan not-substitutable (VRIN) akan dapat memiliki competitive advantage yang berkelanjutan. Diantara sumberdaya yang dimilikinya (baik yang tangible maupun intangible), organisasi cenderung mengabaikan pengelolaan waktu yang ada; meskipun waktu itu sendiri telah memenuhi semua kriteria VRIN diatas.

Dalam bekerja, kita merasa telah mendedikasikan setiap menit dari waktu kerja yang kita miliki untuk institusi tercinta. Hal ini terlihat dari padatnya aktifitas kita sehari-hari, bergegas dari satu rapat ke rapat yang lain, mengecek dan membalas SMS maupun email via smartphone kita, ataupun mengajar dari pagi hingga malam di berbagai jenjang pendidikan. Tidak mengherankan jikalau kita mempunyai tekanan yang cukup besar untuk menyelesaikan segala aktifitas yang menjadi tanggung jawab kita. Yang menjadi pertanyaan adalah sudah efektifkah pengelolaan waktu yang kita punya, sehingga secara kolektif mampu mendongkrak kinerja organisasi?

Menurut Bruch dan Ghoshal dalam penelitiannya yang diterbitkan di dalam Harvard Business Review tahun 2002, 90% manajer-manajer di Eropa memboroskan waktu kerja yang dipunyai untuk aktifitas-aktifitas yang tidak efektif. Dengan kata lain, hanya 10% manajer yang menghabiskan waktunya dengan tujuan yang jelas dan sesuai dengan komitmennya kepada organisasi. Fenomena ini juga akan kita jumpai di hampir semua organisasi, termasuk juga institusi kita tercinta. Tulisan ini akan menyajikan variabel yang dapat menentukan efektifitas kinerja seseorang dan bagaimana institusi perlu menyikapinya.

Empat Kelompok Pekerja

Bruch dan Ghoshal (2002) berpendapat bahwa efektifitas seseorang dalam bekerja tergantung dari dua hal: fokus dan energi. Fokus merupakan kemampuan untuk mengkonsentrasikan perhatian hingga terselesaikannya tugas yang diemban. Idealnya, orang yang fokus akan memilih untuk mengerjakan aktifitas yang menjadi prioritas organisasinya, dan aktifitas selain itu mempunyai prioritas kesekian dari checklist yang dipunyai. Sedangkan energi adalah komitmen penuh dan kuat yang menjadikan seseorang sanggup bertahan lebih dari waktu yang diharuskan hanya untuk menyelesaikan tugasnya. Meskipun kedua variabel tersebut positif, tanpa kehadiran salah satu diantaranya tidak akan membuat seseorang efektif. Fokus tanpa energi hanya akan membuat pekerjaan berjalan tanpa progress, sedangkan energi tanpa fokus hanya membuat kesibukan tanpa makna.

Dari kedua variabel tersebut, terdapat empat kelompok anggota organisasi yang selama ini kita kenal. Kelompok pertama adalah yang suka menunda-nunda pekerjaan, dengan karakteristik pekerja yang mempunyai fokus dan energi yang rendah. Meskipun mereka rajin mengikuti rapat, namun jarang mengutarakan inisiatif atau meningkatkan kinerjanya. Semakin dekat dengan deadline, maka semakin sibuklah mereka menyelesaikannya. Hal inilah yang mengakibatkan kualitas penyelesaian pekerjaan jauh dibawah harapan, bahkan jarang yang terselesaikan.  Kelompok kedua adalah yang secara sengaja melepaskan diri dari urusan organisasi dengan hanya memiliki energi yang rendah, meskipun mereka mempunyai fokus tinggi. Awalnya mereka mungkin pekerja yang penuh antusiasme, namun seiring berjalannya waktu dan kondisi organisasi yang kurang kondusif, jadilah mereka kelompok yang apatis, penuh kemarahan, frustasi, dan merasa tersingkirkan.

Kelompok ketiga adalah yang mempunyai energi tinggi namun belum mempunyai tindakan yang konstruktif. Ciri khasnya adalah orang yang tidak bisa katakan “tidak,” terlalu banyak komitmen yang dibuat, dan ujung-ujungnya apa yang terselesaikan tidaklah optimal. Semakin banyak komitmen yang dibuat, semakin sibuklah mereka. Mereka berharap agar orang lain menilai mereka orang penting dan banyak hal yang telah mereka lakukan bagi organisasi.  Kelompok keempat adalah anggota ideal bagi sebuah organisasi, fokus dan penuh energi. Dalam melakukan aktifitasnya, mereka mendedikasikannya untuk kemajuan organisasi dan selalu mempunyai passion untuk melakukannya. Hal ini disebabkan mereka mampu mengombinasikan apa yang diinginkan dari hidupnya dengan apa yang diharapkan organisasinya. Mereka menetapkan tujuan dan kemudian mengelola lingkungannya, sedangkan ketiga kelompok sebelumnya selalu berharap lingkungan dapat menyesuaikan dirinya. Mereka mampu mengelola ekspektasi atasan terhadap dirinya, membangun hubungan dengan orang-orang berpengaruh, dan selalu memperbarui kompetensi yang dimiliki guna melayani tujuan organisasi sekaligus tujuan pribadinya. Sehingga tidaklah mengherankan mereka sangat efektif dan keberadaan mereka mempunyai kontribusi yang signifikan bagi organisasi.

Rekomendasi

Dari hasil audit yang dilakukan oleh tim reviewer Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA) bulan Januari 2011 terhadap UNAIR, terlihat bahwa workforce-focused outcomes mempunyai penilaian terendah (hanya 10%). Dengan kata lain, aktifitas yang kita jalani selama ini kurang efektif dalam men-deliver kinerja yang diharapkan. Tentunya mustahil untuk menjadikan semua anggota organisasi menjadi kelompok terakhir, dan peran pimpinan yang mampu mengeksplorasi passion masing-masing bawahannya dan pada saat yang sama mampu mengeksploitasinya agar passion tersebut tidaklah layu sebelum berkembang sangat sentral.

Meskipun fokus dan energi mungkin embedded dengan diri kita sejak lahir, namun saya berkeyakinan bahwa organisasipun dapat mengasahnya. Nohria, Groysberg, dan Lee (2008) menyarankan hendaknya pemimpin dapat menyediakan tantangan yang cukup berarti dan menyediakan pilihan bagi anggotanya untuk menjadi kelompok terakhir. Mengkomunikasikan kontribusi penting apa yang dapat dipilih dan dilakukan anggota dalam berkontribusi terhadap institusi akan meningkatkan fokus dan energi yang mereka punya.

Berita Terkait

Badri Munir Sukoco

Badri Munir Sukoco

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Ketua Badan Perencanaan dan Pengembangan (BPP) Universitas Airlangga