Paparan Debu Ancam Kesehatan Pekerja Industri Keramik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Pekerja industri keramik. (Sumber: medcom.id)

Ketika mendengar tentang kesehatan masyarakat tentunya gambaran yang kita miliki adalah suatu bidang yang  fokus pada upaya meningkatkan kesehatan dalam komunitas masyarakat. Namun bidang kesehatan masyarakat juga memiliki fokus pada pemeliharaan dan peningkatan kesehatan pekerja baik dalam sektor formal maupun informal. Tempat kerja harus memiliki kondisi yang memadai dan tidak mempengaruhi kesehatan pekerja, utamanya kondisi udara pada tempat kerja karena.

Polusi atau debu pada udara yang jumlahnya melebihi ambang batas akan dengan mudah masuk dalam pernapasan manusia dan mempengaruhi kesehatan pekerja. Selain itu paparan ini juga akan terjadi selama pekerja bekerja yaitu delapan jam setiap harinya dan berulang untuk hari berikutnya. Hal ini menjadi alasan yang mendasari dilakukannya penelitian di industri keramik. Proses pembuatan keramik akan menghasilkan debu-debu yang berbahaya bagi pekerja.

Tahapan atau proses yang harus dilakukan untuk membuat produk keramik antara lain, pengolahan bahan mentah, pembentukan keramik, pengeringan, pembakaran dan penggilingan. Pada dasarnya, keramik dibagi menjadi menjadi dua jenis. Pertama keramik tradisional yang dibuat menggunakan bahan baku alami seperti keramik untuk barang pecah belah dan rumah tangga lainnya seperti mebel. Kedua adalah keramik halus yang dibuat menggunakan logam atau oksida logam. Misalnya oksida logam (Al2O3, ZrO2, ThO2, BeO, MgO, dan MgAl2O4), nitride dan karbida (Si3N4, SiC, B4C dan TiB).

Menurut organisasi kesehatan internasional atau WHO, debu dikategorikan berbahaya jika ukurannya 0,1 hingga 5 mikron atau 10 mikron. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa ukuran debu berbahaya adalah debu yang berukuran 0,1 hingga 10 mikron. Ukuran tesebut merupakan nilai ambang batas atau standar yang diperkenankan dalam lingkungan kerja sehingga pekerja masih dapat terpapar tanpa menerima masalah kesehatan dikemudian hari. Nilai ambang batas tercantum pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Fisik dan Faktor Kimia di Lingkungan Kerja, menetapkan NAB debu di lingkungan kerja adalah 2 mg/m3.

Pada industri keramik diperlukan analisis risiko terkait debu di tempat kerja untuk memperkirakan kemungkinan dampak negatif kesehatan dari paparan debu yang berbahaya bagi pekerja.  Tingkat risiko yang dialami pekerja dapat ditentukan dengan melakukan analisis paparan di mana paparan agent yang memasuki tubuh pekerja dihitung berdasarkan antropometri pekerja yang digunakan sebagai nilai standar.

Penelitian yang telah dilakukan untuk menganalisis risiko paparan debu yang mengancam kesehatan pekerja dilakukan secara observasional dengan pendekatan crosssectional artinya penelitian ini hanya dilakukan pada satu waktu. Penelitian dilakukan di sebuah industri pembuatan keramik di Kota Gresik, Jawa Timur, Indonesia. Populasi penelitian adalah semua pekerja yang bekerja di bagian produksi, mulai dari mengolah bahan mentah hingga pengemasan keramik yang telah jadi, populasi terdiri dari 30 orang pekerja.

Penelitian ini menggunakan data primer berupa pengukuran debu repirable menggunakan Total Dust Sampler dan pengukuran kapasitas fungsi paru menggunakan spirometry. Selain alat tersebut pekerja juga diberikan kuisioner yang berisi tentang identitas diri, usia, durasi, paparan dan penggunakan alat pelindung diri (APD).

Sumber debu pada tempat produksi industri keramik berasal dari bahan baku dalam bentuk tanah liat dan beberapa jenis bahan lainnya. Proses pembakaran keramik dilakukan dalam suhu 1200O C akan membentuk fraksi lain yang terhirup, debu lebih reaktif dan berbahaya.

Setelah dilakukan pengukuran tingkat debu didapatkan hasil bahwa distribusi debu bersifat homogen di seluruh tempat kerja dengan tingkat rata – rata 3,6 mg/m3. Tingkat debu pernapasan diukur dengan metode NIOSH 7500. Pengukuran dilakukan menggunakan Total Dust Sampler pada pekerja dan menemukan bahwa 53,3% dari total responden terpapar debu yang melebihi standar diperkenankan.

Penilaian tingkat risiko paparan debu dengan cara ini menunjukkan bahwa setiap pekerja menunjukkan hasil risiko yang tidak aman (RQ > 1) karena paparan debu yang terhirup terdapat 13,3 persen dari total responden. Angka ini menunjukkan perlunya mengontrol paparan debu dengan mengidentifikasi batas durasi aman, konsentrasi debu yang aman, frekuensiserta waktu yang aman melalui strategi manajemen risiko.

Berdasarkan penelitian ini, pengontrolan dapat dilakukan dengan menggunakan rekayasa teknik, administrasi dan penggunaan alat pelindung diri saat bekerja. Rekayasa teknik dapat dilakukan dengan cara memasang ventilasi lokal dekat mesin cetak serta kiln atau memasang mesin yang memiliki kemampuan penghisap dan pengumpul debu. Proses basah juga dapat dilakukan meminimalkan penyebaran debu di industri keramik.

Penanggulangan administratif dapat menggunakan shift pekerja agar paparan tidak penuh delapan jam per hari, terutama pekerja yang mengolah bahan mentah keramik. Alat pelindung diri yang dapat digunakan oleh pekerja antara lain dust mask tipe N-95 atau N – 100. Menempuh beberapa cara pengendalian diharapkan pekerja di industri keramik atau jenis industri lain yang memiliki tingkat debu tinggi tidak lagi mengorbankan kesehatan selama bekerja. (*)

Penulis : Noeroel Widajati

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat di,http://www.indianjournals.com/ijor.aspx?target=ijor:ijfmt&volume=13&issue=3&article=089

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).