Perempuan di Puncak Kepemimpinan Daerah: Menembus Langit-Langit Kaca

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh geotimes

Perempuan telah lama menjadi objek diskriminasi melalui pembedaan perlakuan dan gender stereotype dalam berbagai bidang kehidupan. Gender stereotype menjadi keyakinan dalam kehidupan masyarakat yang memilah secara tegas peran laki-laki dan perempuan. Laki-laki menjadi sosok yang identik bekerja dan mengembangkan karir profesional, adapun perempuan bertanggung jawab dalam rumah tangga dengan mengurus suami, anak, dan keluarga.         

Seiring dengan perubahan yang terjadi, partisipasi perempuan di dunia kerja menunjukkan trend kenaikan dalam 20 tahun terakhir. Meskipun demikian, perempuan masih kurang terwakili pada posisi kepemimpinan. Fenomena tersebut semakin menonjol di dunia politik yang sering kali dianggap sebagai dominantly masculine occupation. Hingga saat ini masih sangat sedikit perempuan yang berhasil mencapai jenjang lebih tinggi dalam hierarki parlemen, juga pada posisi-posisi penting dalam pemerintahan.

Telah banyak studi yang dilakukan untuk mengungkap ketidakseimbangan distribusi kekuasaan dalam ruang politik dengan perempuan sebagai minoritas. Sebagian besar studi menekankan pada pembedaan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan untuk mencapai posisi pemimpin, namun belum banyak studi yang mengkaji mendalam hambatan yang harus dihadapi kandidat perempuan dan strategi yang dilakukan untuk mencapai posisi pemimpin. Menggunakan Social Role Theory dan Gender Role Congruity Theory, kami melakukan riset mendalam terhadap bupati perempuan untuk mengungkap keberhasilan perempuan dalam ruang politik sebagai pemimpin daerah.

Social Role Theory dan Gender Role Congruity Theory   

Salah satu teori terkemuka yang menjelaskan gender stereotype adalah Social Role Theory yang dikemukakan oleh Prof. Alice Eagly pada tahun 1987. Social Role Theory mengemukakan bahwa alasan laki-laki dan perempuan membenarkan gender stereotype adalah karena mereka bertindak sesuai peran sosial yang dijalankan. Dalam hal ini, perempuan identik dengan tugas merawat keluarga; sedangkan laki-laki lebih cenderung bekerja di luar rumah.

Dalam perkembangannya, Prof. Alice Eagly bersama dengan Steven J. Karau mengembangkan Social Role Theory menjadi Gender Role Congruity Theory pada tahun 2002. Secara spesifik Gender Role Congruity Theory menjelaskan keyakinan orang mengenai peran laki-laki dan perempuan, serta perbedaan perilaku diantara keduanya dalam hubungannya dengan kepemimpinan. Menurut teori ini orang meyakini adanya kesamaan antara laki-laki dengan figur pemimpin, dan tidak adanya kesamaan antara perempuan dengan figur pemimpin. Kesamaan laki-laki dengan figur pemimpin dikaitkan dengan karakteristik agentic yang dianggap melekat pada laki-laki, yang menggambarkan ketegasan, kecenderungan mengendalikan, percaya diri, agresif, ambisius, dominan, dan bertindak sebagai pemimpin. Perempuan dianggap tidak identik dengan karakter tersebut, karena lebih cenderung pada sifat-sifat communal yang menggambarkan perhatian yang tinggi terhadap orang lain. Berdasarkan Social Role Theory dan Gender Role Congruity Theory tersebut, perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin, terutama pemimpin politik seperti kepala daerah, rentan menghadapi potensi hambatan terkait pencalonan dirinya.

Dalam riset ini, kami mengidentifikasi potensi hambatan yang dihadapi kandidat perempuan dalam pemilihan kepala daerah. Kami juga menganalisis upaya yang dilakukan kandidat perempuan sebagai strategi mengatasi hambatan yang terjadi. Secara umum, potensi hambatan yang dihadapi kandidat perempuan dapat bersumber dari hambatan eksternal serta hambatan internal yang muncul dari dalam diri sendiri.

Metode dan Hasil

Riset ini merupakan sebuah case study yang dilakukan pada kepemimpinan bupati perempuan di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Pemimpin perempuan ini mencalonkan diri dalam dua kali pemilihan kepala daerah (pilkada), dimana pencalonan yang pertama mengalami kegagalan, dan baru pada pencalonan ke dua berhasil menjadi kepala daerah. Untuk menganalisis pencalonan kandidat perempuan tersebut,wawancara mendalam dilakukan dengan Bupati Sragen. Untuk tujuan triangulasi data, wawancara juga dilakukan dengan Wakil Bupati Sragen, tokoh agama, tokoh politik, serta tokoh masyarakat Sragen.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kandidat perempuan mengalami hambatan untuk menjadi pemimpin daerah. Hambatan yang dihadapi dalam bentuk gender stereotype, kampanye negatif, nilai-nilai kodrat perempuan, serta konflik keluarga dan pekerjaan. Gender stereotype muncul dari kelompok-kelompok agama yang menganggap bahwa perempuan tidak dapat menjadi pemimpin, seharusnya pemimpin adalah laki-laki sebagaimana kepala keluarga yang menjadi pemimpin dalam keluarga. Gender stereotype tersebut kemudian berkembang menjadi kampanye negative yang menyudutkan pencalonan kandidat perempuan. Kampanye negatif tersebut secara eksplisit mengemukakan pelarangan perempuan sebagai pemimpin yang disampaikan pada masyarakat luas selama masa kampanye.

Di samping gender stereotype dan kampanye negatif sebagai bentuk hambatatan yang bersifat eksternal, hambatan juga muncul secara internal dalam bentuk konflik keluarga dan pekerjaan serta nilai menyangkut kodrat perempuan yang diyakini. Konflik keluarga dan pekerjaan terjadi akibat peran ganda yang harus dijalankan dalam rumah tangga dan karier yang dijalani. Ketidakseimbangan diantara kedua domain yang kemudian memunculkan konflik keluarga dan pekerjaan. Hal ini juga tidak lepas dari kodrat perempuan yang harus dijaga dalam koridor nilai budaya timur.

Berbagai hambatan yang terjadi dihadapi kandidat perempuan dengan beragam upaya, yaitu dengan mengembangkan jejaring melalui koalisi bersama partai Islam, membangun kepercayaan publik terhadap kepemimpinan perempuan, mendapatkan dukungan keluarga, serta memperkuat karakteristik personal yang memadukan keunggulan sisi feminim sekaligus sisi maskulin dalam kepribadian kandidat perempuan.        

Penulis: Sinto Sunaryo, Badri Munir Sukoco, Dwi Ratmawati, dan Dian Ekowati

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

http://www.ijbs.unimas.my/images/repository/pdf/Vol20-no2-paper3.pdf

Sinto Sunaryo, Badri Munir Sukoco, Dwi Ratmawati, dan Dian Ekowati (2019). The Glass Ceiling: Investigating The Dynamics Surrounding The Election of A Female Regent. International Journal of Business and Society, Vol. 20 No 2, 2019, 463-481.

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).