Amira Paripurna, Pakar Viktimologi Hukum UNAIR Tanggapi Kasus Kebiri Kimia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
AMIRA Paripurna, S. H., LL. M., PhD, Dosen hukum pidana, krimonologi dan viktomologi FH UNAIR (kanan). (Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Media massa pada Agustus 2019 ramai dengan pemberitaan hukuman kebiri kimia pertama yang ada di Indonesia. Ketentuan tersebut merupakan pelaksanaan dari UU No. 17 Tahun 2016 Pasal 18 ayat (7) yang mengatur adanya hukuman tambahan bagi pelaku terpidana pemerkosaan berupa kebiri kimia.

Dosen hukum pidana,  krimonologi dan viktomologi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Amira Paripurna, S. H., LL. M., PhD., memberikan tanggapan atas hukuman kebiri kima yang sedang menjadi pro dan kontra. Amira menjelaskan bahwa terpidana yang melakukan kekerasan seksual terhadap anak dan menimbulkan korban lebih dari satu, maka hukumannya diperberat. Hukuman dapat berupa pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 10-20 tahun. Serta tidak menutup kemungkinan dijatuhi tindakan kebiri kimia.

Dalam sistem penjatuhan sanksi dalam hukum pidana, dapat dibedakan menjadi pidana dan tindakan. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar pelaku jera. Hal tersebut akan lebih menekankan unsur pembalasan dan sanksi tindakan menekankan kepada perlindungan masyarakat dan pembinaan atau pun perawatan bagi pelakunya.

“Karena penyebutan hukum pidana adalah tindakan kebiri kimia, jadi artinya adalah ada semangat untuk membina, dan merawat pelaku,” ungkap Amira yang juga peneliti di HRLS.

Amira juga menambahkan bahwa sebagai pakar hukum tidak dapat menjawab apakah kebiri kimia sudah sesuai atau tidak dengan aspek kesehatan. Pro dan kontra yang ada di masyarakat saat ini menurutnya masih belum dapat dipahami dengan baik. Perlu adanya sinergi antara masyarakat, aparat dan stakeholder (dokter/IDI).

Untuk perlindungan pada korban, UU No. 17 Tahun 2016  sudah cukup kuat memberikan mandat kepada pemerintah bahkan juga pada masyarakat terkait perlindungan pada anak korban kekerasan seksual. Hampir di masing-masing daerah terdapat pusat perlindungan anak, lembaga-lembaga layanan bagi anak korban kekerasan, dari segi sanksi bagi pelaku sudah diperberat.

Amira mengungkapkan bahwa penegakan hukum juga harus adil. Jangan sampai karena pelaku memiliki status sosial di masyarakat hukumannya diringankan, tetapi jika pelaku adalah orang  kelas bawah baru hukumannya diperberat. Penegakan hukum bagi para pelaku seharusnya dapat memberikan efek jera dan membina untuk tidak mengulangi kesalahan. (*)

Penulis: Aditya Novrian

Editor: Khefti Almawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).