Lawan Aktivis Sejatinya adalah Kesewenang-Wenangan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Para aktor ketika memerankan lakonnya sebagai mahasiswa. (Foto : Feri Fenoria Rifa’i)

UNAIR NEWS – Sebetulnya, lawan dari seorang aktivis bukanlah sebuah jabatan ataupun kedudukan, namun lawan aktivis sejatinya adalah kesewenang-wenangan. Mengutip dari sinopsis pementasan teater oleh Sanggar Lidi Surabaya yang bertajuk ‘Aktivizm’ karya seorang sastrawan Totenk Mahdasi Tatang Rusmawan pada acara penyambutan mahasiswa baru Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya, Jumat malam (30/8/19) di Gedung Kesenian Balai Pemuda Surabaya.

Bahwa di tengah kondisi politik bangsa yang bergolak dan penuh gejolak pasca maraknya sosial media di Negeri Timur, membuat carut-marut hadirnya kebenaran hakiki yang dimilki karakter sebuah bangsa. Satu sama lain menjadi mudah benar dengan sibuk menyalahkan.

Pembahasan berbagai lapisan masyarakat, dari pembahasan bebas di warung kopi, obrolan keluarga, hingga perbincangan pejabat tinggi Pemerintahan Negeri Timur, telah mencerminkan betapa kondisi Negeri Timur telah dilanda kenyataan. Bahwasanya mereka adalah bangsa yang pingsan, tidak memiliki kesadaran, lupa kenyataan, sibuk dengan bual-bualan yang diciptakan sendiri lewat asap harapan tanpa mengukur kemampuan kolektif bangsa.

Kata aktivis pun sudah tidak asing terdengar pada kalangan mahasiswa, dengan bangga Totenk mempersembahkan karyanya itu di depan para mahasiswa baru FIB UNAIR. Melalui kebudayaan, diharapkan dapat dengan mudah dalam penyampaian pesan kepada muda-mudi era sekarang. Karena munurutnya, kebudayaan begitu penting untuk dikenalkan.

“Merupakan kebahagiaan di tengah maraknya sebuah kebudayaan yang muncul di benak muda-mudi kala ini, dimana masing-masing kampus seluruh indonesia mayoritas melakukan ospek dengan ditutup inagurasi band sebagai hiburan semata. Semtara fakultas ilmu budaya menutup kegiatan orientasi mahasiswa dengan kegiatan kebudayaan, terimakasih,” papar Totenk.

Dalam panggung megah malam itu ditekankan, bahwa pergerakan aktivis adalah sebagai pergerakan pengabdian. Mengabdi pada kebenaran dan keadilan, serta melawan apapun segala bentuk penindasan. Lalu, musuh sejatinya adalah kesewenang-wenangan.

“Bila diri sendiri sewenang-wenang, juga harus dilawan. Andai siapapun mereka, meski atas nama aktivis, namun mereka berbuat sewenang-wenang, maka aktivispun harus dilawan!” salah satu dialog apik dan penuh pesan, bahwasanya siapapun mereka yang sewenang-wenang harus dilawan.

Tidak hanya dengan turun aksi, berdemonstrasi di jalan, namun dengan pikir kritis dan aksi strategis juga realistis akan dengan mudah melawan kesewenang-wenangan.

Salah satu pesan juga disampaikan, melalui epilog aktor “jikalau tubuhmu resah, bertanylah! Bila pikirmu buntu, merenunglah! Andai hatimu lusuh, bersihkanlah! Namun apapun keluhmu, jangan katakan menyerah! Aktivis adalah simbol masyarakat kritis. Mereka tidak boleh pesimis. Harus mampun senantiasa menjaga garis. Agar bangsanya tak melewati batas krisis”. Sebuah ajakan untuk tetap mempertahankan semangat idealisme para aktvis dalam perhelatan era yang terjadi dalam dinamika sejarah Negeri Timur.

Dukungan moril juga ditunjukkan untuk para aktivis yang memiliki semangat idealisme tinggi namun terjebak dalam kesulitan ekonomi. Melalui penampilan sepasang suami istri yakni Sugi dan Mily, yang terlilit hutang namun sang suami tetap dengan keras mempertahankan ideologinya sebagai aktivis sejati. Hal ini, menunjukkan bahwa sekarang, sebuah pertahanan idealisme dianggap selaras dengan kesengsaraan ekonomi.

Dengan penuh harap, segala pesan yang disampaikan dalam pementasan teater ‘Aktivizm’ dapat diterapkan oleh seluruh masyarakat. Terutama pada mahasiswa baru Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, untuk lebih siap memasuki dunia perkulihan dengan bekal mahasiswa kritis namun cerdas. (*)

Penulis : Ulfah Mu’amarotul Hikmah

Editor : Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).