BEM UNAIR Tanggapi Kericuhan Papua di Manokwari

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
NARASUMBER dan moderator Diskusi Rutin oleh BEM UNAIR di Ruang Siti Parwati, FIB, Kampus B UNAIR, pada Kamis (29/8/2019). (Foto: Inas Hanifah)

UNAIR NEWS – Menanggapi kericuhan yang terjadi di Manokwari pada Senin (19/8/2019) serta rentetan kejadian sebelumnya di Malang dan Surabaya, Kementrian Sosial dan Politik BEM UNAIR hadir dengan memberikan ruang diskusi pada Kamis (29/8/2019). Bertempat di Ruang Siti Parwati, FIB, Kampus B UNAIR, diskusi itu merupakan kerjasama antara BEM UNAIR dengan Kementrian Kajian Aksi dan Strategis BEM FIB UNAIR.

Mengangkat topik “Merajut Kebhinekaan: Di Balik Tragedi Kericuhan Papua, Agustus 2019” diskusi itu menghadirkan Fahrul Muzaqqi S.IP., M.IP selaku dosen Ilmu Politik UNAIR, M.Si, Miftahul Ulum (FIB) selaku Menko Pergerakan BEM UNAIR 2018 serta perwakilan dari Organisasi Mahasiswa Daerah (Ormada) Papua. Diskusi itu bertujuan untuk membahas apa yang sebenarnya sedang terjadi dan apa yang menjadi pemicu terjadinya kericuhan di Manokwari. Salah satu isu yang dibahas yaitu tentang rasisme.

“Sebenarnya, akar rasisme itu dimiliki oleh semua manusia,” ungkap Miftahul.

Miftahul mengatakan rasisme berakar dari angan-angan kemurnian. Apabila seseorang menganggap ia lebih unggul dari ras lain, disanalah rasisme muncul ke permukaan. Pencegahan rasisme telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Miftahul secara khusus menyebutkan pasal 15 dan 16 mengenai hukuman denda sebesar Rp100.000.000,00 dan penjara 5 tahun bagi yang melanggar. Ada cara untuk menekan rasisme selain komitmen menegakkan hukum, yaitu dengan menumbuhkan konsep persamaan rasa, bahwa tidak ada Indonesia yang benar-benar asli jika dilihat hanya dari satu ras saja.

Sementara itu Fahrul mengungkapkan, untuk mengatasi rasisme tidak cukup jika hanya dilihat dari satu pihak saja. Butuh upaya dari kedua belah pihak, mayoritas dan minoritas diharapkan saling bekerjasama dalam menekan rasisme.

“Kalau kita ngomong budaya, saya ingin kita semua jujur. Berapa banyak teman-teman kalian yang di luar etnis kalian?,” ujarnya.

Lanjut Fahrul, untuk menekan rasisme, pihak mayoritas harus bersedia menghargai dan menerima satu sama lain. Sementara pihak minoritas harus siap membuka diri dan mengurangi keeksklusifan.

“Persoalan Papua ini tidak hanya soal rasisme, tapi juga soal ekonomi, politik, serta budaya, bahkan militer,” Imbuh Fahrul. Terlepas dari itu, ia mengungkapkan bahwa beban yang dibawa pemerintah jauh lebih pelik karena tidak hanya menghadapi masalah masa terkini, namun juga permasalahan yang menumpuk dari masa lalu. (*)

Penulis : Inas Hanifah

Editor : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).