Hormon Tidur dan Penderita Dermatitis Atopik Anak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Alustrasi dermatitis atopik pada anak. (Sumber: Deherba)

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit radang kulit bersifat kronik dan kambuh-kambuhan dengan gejala gatal bervariasi, mulai dari ringan hingga berat. Biasanya, DA terjadi pada anak yang mempunyai riwayat atopik, baik pada diri sendiri atau pada keluarganya, berupa asma, rinitis alergi, konjungtivitis, ataupun ekzema. DA disebabkan kelainan  pada proses  inflamasi kulit yang bersifat  multifaktorial. Stres oksidatif menstimulasi respons inflamasi yang menyebabkan penyakit alergi seperti DA, rinitis alergi, dan asma.

Derajat penyakit yang berat, disertai adanya stres yang berkaitan dengan kronisitas penyakit dan gangguan pada respon imun mengakibatkan adanya gangguan tidur pada pasien DA. Gangguan tidur akibat gatal pada pasien DA dapat menyebabkan kelelahan fisik dan mental, perubahan mood, serta penurunan konsentrasi.

Melatonin atau awam mengenal sebagai hormon tidur, merupakan salah satu molekul immunomodulator yang penting pada penyakit alergi. Melatonin sebagai  free radical scavenger endogen yang kuat, memiliki efek sebagai agen anti-inflamasi yang terbukti pada studi in vivo dan in vitro. Melatonin juga  berperan pada beberapa sistem tubuh termasuk untuk mengatur ritme sirkadian karena perannya untuk menyebabkan kantuk.

Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah pada pasien DA yang sedang mengalami gejala gatal akan berefek terhadap kadar melatonin, mengingat bahwa gejala gatal yang berat akan mempengaruhi siklus tidur penderita DA. Kadar melatonin serum telah menjadi objek penelitian pada penderita DA pada tahun-tahun terakhir, namun hanya sedikit penelitian yang dipublikasikan tentang pengaruh hormon ini pada usia anak. Berbeda dengan melatonin serum, penelitian tentang melatonin urinee pada pasien DA anak belum banyak dilakukan dan hasil dari penelitian-penelitian tersebut juga masih kontroversial.

Hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa kadar melatonin urine dapat menggambarkan kadar melatonin serum sehingga untuk penelitian dengan subyek anak-anak, menggunakan melatonin urine sebagai penanda kadar melatonin pada tubuh akan lebih mudah. Hal itulah yang mendorong kami melakukan penelitian untuk mengukur kadar melatonin urinee pada pasien DA anak dibandingkan dengan kontrol untuk mengetahui adakah perbedaan pada kedua kelompok tersebut.

Penelitian dilakukan secara analitik observasional menggunakan metode potong lintang. Tujuannya, untuk membandingkan kadar melatonin urine pada pasien DA anak dengan kontrol pasien anak non atopi. Informed consent tertulis disetujui oleh komite etik rumah sakit umum Dr. Soetomo. Penelitian dilakukan pada 44 sampel yang terdiri dari 22 sampel DA dan 22 sampel kontrol. Semua sampel telah disaring sesuai kriteria penerimaan dan penolakan sampel dan juga telah bersedia mengikuti penelitian.

Diagnosis DA ditegakkan menggunakan kriteria spesifik berdasarkan anamnesis, riwayat keluarga, dan pemeriksaan fisik. Kriteria DA dalam penelitian ini menggunakan kriteria Hanifin dan rajka. Derajat penyakit DA ditentukan dengan indeks Scoring of Atopic Dematitis (SCORAD) yang dibagi menjadi DA derajat ringan, sedang, dan berat. Sampel DA pada penelitian ini terdiri dari 5 pasien dengan DA ringan , 11 pasien dengan DA sedang, dan 6 pasien DA berat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar melatonin urine rata-rata pada kelompok DA lebih rendah daripada pada kelompok kontrol, meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik. Selain itu juga menunjukkan bahwa kadar melatonin urine cenderung menurun sesuai dengan peningkatan derajat keparahan penyakit. Kadar melatonin urine berkurang pada derajat keparahan DA yang semakin berat.

Penjelasan dari hasil ini adalah mekanisme peningkatan kompensasi melatonin untuk memperbaiki gangguan tidur pada pasien AD, dan pada penderita yang merespons reaksi kompensasi ini akan berdampak pada peningkatan kadar melatonin pada saat pemeriksaan. Kadar melatonin yang lebih tinggi dikaitkan dengan efisiensi tidur yang lebih baik, dan derajat penyakit yang lebih ringan.

Implikasi dari hasil penelitian ini nantinya diharapkan akan dilakukan penelitian lanjutan tentang kemungkinan pemberian suplemen melatonin pada pasien DA terutama pada penderita DA derajat berat. (*)

Penulis : Iskandar Zulkarnain

Informasi detil dari riset ini dapat dilihat pada tulisan di:https://www.pagepress.org/journals/index.php/dr/article/view/8064

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).