Reaksi Hipersensitivitas pada Pasien HIV

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Alodokter

Reaksi hipersensitivitas terhadap obat atau sering dikenal dengan alergi obat khususnya yang mengenai kulit (CADR/ Cutaneous Adverse Drug Reaction) sangat sering terjadi pada pasien positif HIV (Human Immunodeficiency Virus). Insidennya mencapai 50% pada pasien yang mengonsumsi obat HIV dan dapat menimbulkan morbiditas yang signifikan di era terapi ART (antiretroviral). Insiden CADR juga meningkat 100 kali pada pasien yang tidak diterapi serta dalam keadaan imunodefisiensi yang parah.

Terapi antiretroviral terbukti meningkatkan angka harapan hidup bahkan kualitas hidup dari 33,4 juta pasien HIV di seluruh dunia. Akan tetapi seperti kebanyakan obat, ART juga mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan reaksi hipersensitivitas. Manifestasi yang paling sering dari hipersensitivitas obat yaitu CADR (Cutaneous Adverse Drug Reaction). Pasien akan mengalami eksantema tanpa gejala sistemik atau kemerahan, ruam makulopapular dengan demam, nyeri otot/ mialgia, nyeri sendi/ arthralgia, dan kekakuan. Reaksi hipersentitivitas juga mungkin akan melibatkan organ dalam sehngga menyebabkan hepatitis, pneumonitis, miokarditis, perikarditis, dan nefritis. Pada kurang dari 0,5% pasien dengan hipersensitivitas obat akan mengalami Stevens Johnson Syndrome (SJS) atau Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).

Penelitian yang dilakukan di luar negeri menyatakan bahwa sebanyak 8,2% diagnosis dermatotologis pada pasien HIV yaitu CADR. Manifestasi klinis CADR yang paling sering yaitu ruam morbilliform diikuti dengan urtikaria, eritema multoformis, vaskulitis, dan fotodermatitis. Pada penelitian ini dinyatakan bahwa cotrimoxazole memicu terjadinya CADR pada pasien HIV positif. Faktor resiko yang dikaitkan dengan reaksi hipersensitivitas obat yaitu perempuan, jumlah sel T CD4+ <200μL, jumlah sel T CD8+ >460μL, dan riwayat adanya hipersensitivitas obat sebelumnya.

Studi retrospektif yang dilakukan di bangsal HIV RSUD Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2013-2015 menyebutkan 62,5% CARD dihubungkan dengan ART. CARD paling banyak dialami oleh pria (65%), usia 25-44 tahun (85%). Pasien yang terdiagnosis CARD menunjukkan adanya ruam makulopapular (65%) sedangkan pasien yang lain didiagnosis dengan Stevens Johnson Syndrome (20%), kemerahan meyeluruh (eritroderma) sebanyak 5%, dan Toxic Epidermal Necrolysis (5%). Ruam makulopapuler sering terjadi pada hari 1-7 (45%), begitu juga dengan Stevens Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis. Penelitian ini juga menemukan obat antiretroviral yang paling sering menyebabkan CARD yaitu nevirapine (45%). Nevirapine juga menjadi obat yang paling banyak menyebabkan Stevens Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis yaitu sebanyak 25% dan 5%.

Penelitian lain juga mendapatkan hasil bahwa nevirapine menjadi antiretroviral yang paling sering dihubungkan dengan CADR pada pasien HIV rawat jalan yaitu sebesar 56,12% menyebabkan ruam makulopapular, 62,5% menyebabkan gatal-gatal/ urtikaria. Pada penelitian yang sama nevirapine menyebabkan empat kasus Stevens Johnson Syndrome, dua kasus ruam pustular, dan dua kasus pembengkakan/ angioedema. Nevirapine sendiri merupakan obat antiretroviral lini pertama golongan NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor yang paling sering digunakan. Selain nevirapine, obat antiretroviral yang sering diduga menyebabkan CADR terutama ruam makulopapular yaitu efavirenz, zidovudine, lamivudine, dan atazanavir.

Resiko terjadinya CADR yang parah sangat besar pada beberapa minggu pertama dimulainya terapi antiretroviral. Oleh karena itu direkomendasikan untuk memulai nevirapine dalam setengah dosis (200 mg) selama dua minggu pertama. Akan tetapi penelitian tahun 1999 yang membandingkan rekomendasi ini dengan pemberian terapi yang lebih bertahap, yaitu 100 mg untuk minggu pertama, 200 mg untuk minggu kedua, 300 mg untuk minggu ketiga, dan 400 mg untuk minggu keempat, mendapatkan hasil bahwa pemberian setengah dosis lebih beresiko untuk berhenti karena adanya ruam (8,5%) dibanding dengan pemberian terapi bertahap (2,1%). Selain itu penambahan antihistamin pada terapi bertahap juga menunjukkan hasil yang memuaskan pada dua dari tiga pasien yang sebelumnya gagal pengobatan karena ruam non-bulosa.

Disimpulkan bahwa hipersensitivitas obat sering terjadi pada pasien dengan HIV positif dengan manifestasi klinis yang paling sering di RSUD Dr. Soetomo Surabaya yaitu ruam makulopapular. Hipersensitivitas ini sering dikaitkan dengan terapi antiretroviral, terutama nevirapine yang merupakan obat antiretroviral lini pertama. Oleh sebab itu pemberian nevirapine dapat dilakukan secara bertahap untuk mengurangi resiko hipersensitivitas. Diagnosis dini secara cepat dan tepat secara penghentian terapi sangat penting pada reaksi yang parah serta membahayakan.

Penulis: Vidyani Adiningtyas

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://www.pagepress.org/journals/index.php/dr/article/view/8059/7832

Cutaneous Adverse Drug Reaction in Human Immunodeficiency Virus Patient Associated with Antiviral Therapy: A Retrospective Study

Vidyani Adiningtyas,Cita Rosita Sigit Prakoeswa, Erwin Astha Triyono

Department of Dermatology and Venereology, Faculty of Medicine, Universitas Airlangga / Dr. Soetomo General Hospital, Surabaya, Indonesia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).