Alternatif Penetapan Batas Wilayah Laut NKRI dan Republik Democratic Timor Leste

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Sindonews

Berdasarkan TAP MPR No. V/1999, status hukum Wilayah Timor Leste bukan lagi bagian dari NKRI. Diperjelas dalam perjanjian antara Indonesia dan Portugal di New York tanggal 5 Mei 1999 tentang Agreement Between  the Republic of Indonesia and the Portuguese Republic on the Question of East Timor. Terdapat dua permasalahan utama setelah Timor Leste (Republik Democratic Timor Leste/RDTL) merdeka adalah Pertama,belum adanya penetapan dan peraturan mengenai batas wilayah khususnya di Oecusse, sebuah wilayah enclave (daerah kantong) Timor Leste yang terletak di dalam wilayah Indonesia di Timor Barat. Kedua, tidak adanya wewenang yang jelas dalam pengelolaan perbatasan Indonesia sehingga kondisi perbatasan Indonesia saat ini terutama dari sisi stabilitas keamanan belum kondusif. Pasal 59 Konvensi Hukum Laut 1982, tentang penyelesaian sengketa di ZEE, mewajibkan negara-negara untuk melakukan kesepakatan dengan cara yang adil dengan pertimbangan yang relevan. Indonesia dan Timor Leste hendaknya menetapkan garis equidistance sebagai batas wilayah laut setiap negara, atau menggunakan  alternatif penyelesaian sengketa perbatasan laut kedua negara yang diarahkan pada penerapan prinsip uti possidetis juris dalam kepemilikan wilayah antara Republik Indonesia dengan RDTL (wilayah Kantung Oecusse).

Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan / perjanjian internasional dan pendekatan konseptual. Untuk memperkuat analisis, dilakukan observasi ke perbatasan Timor Leste dengan Indonesia. Pengumpulan data di wilayah perbatasan dan wawancara dengan Tim Kerja Penetapan Batas Wilayah RDTL serta Kementrian Luar Negeri RI.

Prinsip Uti Possidetis Juris

Konsekuensi logis dari keberadaan RDTL bahwa kedua negara harus menentukan batas wilayah darat dan laut. Sebagai upaya alternatif penyelesaian batas wilayah kedua negara, maka penerapan  prinsip uti possidetis juri sangat dimungkinkan. Hal ini mengacu pada perjanjian batas warisan kolonial di akhir abad 19 dan awal abad 20. Untuk batas laut territorial dititik beratkan pada  perjanjian perbatasan yang berlaku pada saat perjanjian perbatasan tersebut dibuat maupun teknologi yang tersedia pada saat itu.

Pada Convention for the Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions on the Island of Timor di The Hague 1 Oktober 1904 dan diratifikasi  pada 29 Agustus 1908, disebutkan dalam Pasal 1  bahwa Belanda menyerahkan pulau kecil Maucatar kepada Portugal. Sedangkan di Pasal 2 Portugal menyerahkan teritorial Belanda yang berbatasan dengan pulau utama yaitu Tahakai dan Tamiru Ailala. Sebagai tambahan, Portugal menyerahkan ke teritorial Belanda Pulau kecil Oecussi di Noimutu. Pasal 3 memuat secara detail dalam 10 klausula mengenai perbatasan pulau kecil Oecussi milik Portugal. Setelah Timor Leste menjadi negara yang terpisah dengan Indonesia, maka diperlukan revisi batas wilayah terutama di Oecusse dan Atauro, pulau milik Timor Leste, dengan  pertimbangan diantaranya karakteristik geografis sekitar Selat Wetar  dan beberapa pulau lain yg berdekatan.

Batas Laut Wilayah Timor Leste dengan Indonesia di Oeccusse (Timor Leste)

Daerah Terakhir dari garis batas yang memisahkan Timor Leste dan Indonesia Timur adalah Oecusse. Pada perjanjian 1904, Oecusse merupakan wilayah yang berada di ujung mulut Noel Besi terletak di sebelah barat dan mulut Noel Meto di sebelah timur. Perjanjian 1904 menyatakan bahwa mulut Noel Besi yang terletak di pantai pada titik Pulau Batek terletak pada 30° 47′ sebelah barat dari utara. Mulut sungai yang di tunjukkan terletak pada titik tepat didalam peta digunakan oleh negosiator batas laut. Klaim Timor Leste dari pantai Oecusse dibatasi oleh Pulau Batek di wilayah Indonesia. Hal ini dijelaskan sebagai pulau kecil dengan permukaan atau karang yang memiliki ketinggian mencapai 81 meter. Karena pulau kecil ini, maka Indonesia berhak untuk mengklaim perpanjangan zona maritim dari wilayah ini, diperkuat dengan penerapan prinsip Uti Possidetis Juris. Jika Indonesia menyatakan pulau ini adalah kurang sesuai dengan istilah Pasal 121 Ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982, maka Indonesia masih dapat memperpanjang wilayah karena memiliki kehidupan ekonomi sendiri. Selain itu Indonesia sebagai Negara Kepulauan diperbolehkan untuk menentukan garis pangkal kepulauan dari pulau terluar dan karang, sesuai Pasal 121 Ayat (2) UNCLOS 1982.

Rekomendasi dari penelitian ini adalah Perjanjian RI dan RDTL untuk Wilayah Oecusse, hingga saat ini masih dalam proses penyelesaian. Maka pemilihan cara penentuan batas wilayah seharusnya mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat, dan prinsip  Uti Possidetis Juris, suatu prinsip yang pernah digunakan oleh negara-negara dan Mahkamah Arbitrasi Internasional dengan mengacu pada batas yang telah dibuat oleh pendahulu atau masa penjajahan, pada perjanjian batas warisan kolonial di akhir abad 19 dan awal abad 20. Sedangkan untuk batas laut territorial antara kedua negara mengacu pada ketentuan yang ada pada UNCLOS 1982 dan kesepakatan para pihak.

Penulis: Dr. Dina Sunyowati,SH.,M.Hum

Informasi detail dari Penelitian ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://e-journal.unair.ac.id/index.php/YDK/index.undera

Dina Sunyowati, Haidar Adam, Ria Tri Vinata (2019), The Principles of Uti Possidetis Juris as an Alternative to Settlement Determination of Territorial Limits in the Oecusse Sacred Area (Study of The NKRI and RDTL Boundaries), Yuridika, Jurnal Ilmu Hukum, Vol 34, No 2 (2019); p-ISSN: 0215-840X, e-ISSN: 2528-3103

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).