Praktik Financial Inclusion pada Perbankan Syariah Tergolong Baik

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Harapan Rakyat

Financial inclusion bertujuan mendorong unbankable people (masyarakat yang tidak memenuhi persyaratan dalam mendapatkan kredit usaha) untuk memiliki akses ke sistem keuangan formal. Sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mengakses jasa keuangan mulai dari tabungan, pembayaran, pembiayaan, asuransi, dan berbagai jasa keuangan lainnya. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh World Bank, 60% penduduk Indonesia meminjam uang, namun hanya 26% yang meminjam dari bank atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Secara spesifik hanya 17% yang dilayani oleh perbankan, sisanya dilayani oleh lembaga keuangan semi-formal (9%). Selebihnya pinjaman yang didapatkan oleh penduduk Indonesia berasal dari sektor informal (34%), yaitu dari tetangga, teman dan keluarga. Sementara penduduk yang belum terlayani masih juga relatif besar yaitu 40%, dimana 60% dari kelompok ini dinilai tidak layak mendapatkan pinjaman karena tergolong miskin dan sangat miskin.

Pengimplementasian financial inclusion menjadi hal yang penting dalam rangka pengentasan kemiskinan. Pengimplementasian financial inclusion membutuhkan sebuah lembaga keuangan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat utamanya kelas menengah ke bawah. Hal ini terwakili oleh perbankan syariah yang merupakan salah satu lembaga keuangan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat karena didukung oleh produk-produknya yang bersentuhan dengan sektor rill. Tujuan lain dari financial inclusion adalah agar setiap lapisan masyarakat, utamanya rakyat menengah kebawah dapat memiliki akses dengan mudah dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan. Kemudahan akses masyarakat terhadap sistem perbankan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.

Berdasarkan data dari World Bank, Global Financial Inclusion Index 2015 memaparkan bahwa Financial Inclusion Index Indonesia hanya 19.6 persen. Ini masih jauh di bawah negara-negara lain seperti Malaysia 66.7 persen, Philipina 26.5 persen, Thailand 77.7 persen, Vietnam 21.4 persen, India 35.2 persen, China 63.8 persen, Rusia 48.2 persen, dan Brazil 55.9 persen. Masyarakat memiliki hambatan dalam mengakses lembaga keuangan. Tingginya unbankable masyarkat disebabkan karena gap kemiskinan antar provinsi, rendahnya pembiayaan UMKM, suku bunga kredit mikro tinggi, asymmetric information, kemampuan manajemen UMKM kurang memadai, monopoli bank pada sektor mikro, dan terbatasnya saluran distribusi jasa keuangan. Inilah yang menjadi alasan pentingnya implementasi financial inclusion.

Perbankan syariah merupakan lembaga penting dalam mengimplementasikan financial inclusion di Indonesia. Jika kita flashback ke 2008, jumlah pemain industri perbankan syariah saat ini masih berjumlah 155, yaitu 3 Bank Umum Syariah (BUS), 28 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 124 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Kini jumlah itu semakin meningkat seiring bertambahnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan produk-produk keuangan non-bunga. Pada Desember 2017, Indonesia telah memiliki 13 Bank Umum Syariah (BUS), 21 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 165 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Perkembangan secara kuantitas ini sudah tersebar dari pusat hingga ke daerah sehingga bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Makin meluasnya jangkauan perbankan syariah menunjukkan peran perbankan syariah makin besar untuk pembangunan ekonomi rakyat negeri ini. Perbankan syariah akan tampil sebagai garda terdepan atau lokomotif terwujudnya financial inclusion. Ini pula yang menjadi misi dasar dan utama ekonomi syariah, yakni pengentasan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan hasil analisis peran perbankan syariah dalam mengimplementasikan financial inclusion di Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa pertumbuhan perbankan syariah terlihat dari peningkatan aset, dana pihak ketiga (DPK) naik 8% hingga 21% per tahun. Pembiayaan juga mengalami kenaikan yang signifikan mencapai 3% hingga 17% per tahun. Analisis rasio keuangan juga tercatat baik. Rasio pembiayaan terhadap DPK (FDR) perbankan syariah juga sangat baik berada pada batas yang ditetapkan BI yaitu 87%-100%. Kecukupan modal minimum perbankan syariah (CAR) cukup baik yaitu 14% bahkan lebih. Tingkat income yang dihasilkan dari asset dan ekuitas juga cukup baik (ROA).

Angka pembiayaan dengan minimnya masalah yaitu di bawah 5%, bahkan pada pembiayaan mikro bank syariah pernah mencapai NPF 0%. Beban operasional atas pendapatan operasional (BOPO) memang masih tergolong tinggi karena perbankan syariah gencar melakukan ekspansi ke berbagai wilayah di Indonesia. Pertumbuhan yang dialami perbankan syariah ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi riil. Hasil analisis perbandingan antar laporan keuangan dan analisis rasio mengindikasikan bahwa kinerja dan kondisi keuangan perbankan syariah baik. Hal ini, menjadikan perbankan syariah mampu menjadi garda depan dalam mengimplementasikan financial inclusion di Indonesia. Pengimplementasian financial inclusion melalui perbankan syariah juga akan didukung oleh produk-produk perbankan syariah yang melakukan operasional berdasarkan prinsip Islam dan mengemban misi sosial kemasyarakatan.

Penulis : Siti Inayatul Faizah

Informasi detail tulisan ini bisa menghubungi email berikut :

i-i-f@feb.unair.ac.id

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).