Indonesia Darurat Karhutla, Benarkah?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh BBC com

Tahun ini Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan Provinsi Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Jambi dalam kondisi siaga darurat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Pasalnya, keenam provinsi tersebut merupakan sebaran dari 26 juta Ha lahan gambut di indonesia.

Secara geologis gambut dapat terbentuk di daerah dengan iklim tropis, sedang, maupun dingin. Gambut terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tanaman purba yang telah mati dan mengalami perombakan kompleks yang mengandung 12% – 18% karbon organik.

Keputusan Presiden (kepres) Nomor 32 tahun 1999 tentang pengelolaan kawasan lindung menyatakan kawasan bergambut merupakan kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama. Kriterianya yaitu berupa tanah gambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih yang terletak di bagian hulu sungai dan rawa.

Karhutla menjadi berita yang hangat dibicarakan saat ini. Yang terbaru terjadi di Riau pada bulan Agustus tahun ini. Selain itu, di Kalimantan menjadi tragedi berulang yang melumpuhkan aktivitas warga. World Wide Fund for Nature (WWF) menjelaskan dalam kondisi alami lahan gambut tidak mudah terbakar. Hal ini dikarenakan sifat dari gambut yang menyerupai spons sehingga dapat menyerap air secara maksimal. Sementara, ketika musim kemarau, gambut akan mengering sehingga resiko kebakaran meningkat.

Secara lambat kobaran api dari lahan gambut menjalar dibawah permukaan tanah. Kobaran api ini bersifat sulit dideteksi dan menimbulkan asap tebal. Selain itu, kebakaran lahan gambut sulit dipadamkan sehingga mengakibatkan frekuensi kebakaran terjadi lebih lama.

Saat ini Indonesia dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Setidaknya terdapat 4.258 titik panas dengan 2.087 diantaranya terletak di kawasan konsesi dan kesatuan hidrologi gambut (KHG) sepanjang bulan Januari hingga bulan Juli 2019.

Tidak dipungkiri kabut asap dampak dari karhutla ini menyebabkan Indonesia mengekspornya hingga ke negara tetangga, yakni Malaysia dan Singapura. Tentu hal ini mempengaruhi hubungan diplomatik antar negara tetangga. Sehingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meratifikasi persetujuan terkait kabut asap lintas batas. Namun, yang menjadi poin yang perlu diperhatikan yaitu dampak yang menyasar penduduk setempat. Sebagian besar masyarakat mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma, dan penyakit paru obstruktif kronik.

BNPB mencatat, sebaran asap yang makin meluas menyebabkan kualitas udara di kota Pekanbaru dan Palangkaraya Provinsi Riau menurun. Di Kota Pekanbaru, kualitas udara menurun pada tingkat kurang sehat (konsentrasi PM 10 173). Sementara itu, di Kota Palangkaraya kualitas udara menurun pada tingkat sedang (konsentrasi PM 10 126).

Selain menurunnya kualitas udara di sejumlah daerah yang berdampak kabut asap, karhutla menyebabkan rusaknya flora dan fauna yang hidup di hutan. Sebaran asap dan emisi gas karbondioksida dan gas -gas lainnya berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim.

Dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis lahan gambut, pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden No.1 Tahun 2016. BRG sejauh ini terus menjalankan operasi pembasahan lahan gambut dengan harapan risiko karhutla dapat ditekan. Mengingat kerugian yang besar akibat kebakaran lahan gambut, maka konservasi lahan gambut perlu dilakukan. Sebagaimana dalam Kepres No.32 Tahun 1990 terkait tujuan konservasi lahan gambut adalah untuk mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan. Lalu menjadi tanggung jawab siapakah untuk mengatasi permasalahan karhutla ini? Benarkah karhutla menjadi pekerjaan rumah pemerintah semata? Tentu hal ini tidak dibenarkan. Pemerintah bersama instansi terkait dan masyarakat bersama-sama menyelesaikan permasalahan karhutla yang seperti tren terjadi di Indonesia setiap tahunnya. Harapannya kedepan tidak terdengar lagi teriakan menggema “selamatkan kami” di daerah terdampak karhutla.

Berita Terkait

Dian Putri Apriliani

Dian Putri Apriliani

Mahasiswa Akuakultur PSDKU Universitas Airlangga di Banyuwangi