Peran Rezim Paris Agreement dalam Pengendalian Pemanasan Global

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Liputan 6 com

Komitmen masyarakat Internasional dalam pengendalian pemanasan global telah dikembangkan sejak tahun 1919. Yang terbaru, yakni Paris Agreement, menunjukkan kekuatan Komitmen Internasional untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan pemanasan global juga yang terkait lingkungan. Ketika mayoritas Negara setuju untuk terikat, sebaliknya, Presiden baru Amerika Serikat, Donald Trump justru menarik diri dari perjanjian tersebut dengan dalih bahwa Amerika Serikat bukan sumber terbesar pemicu pemanasan global. Hal tersebut tentu tidaklah bijak, mengingat dampak dari pemanasan global, dapat dirasakan oleh seluruh komponen makhluk hidup di berbagai belahan dunia, terlepas negara tersebut sebagai pemicu atau bukan.

Dalam kaitannya dengan isu ketahanan pangan, World Food Programme (WFP) melihat pemanasan global dan perubahan iklim sebagai pemicu risiko terhadap ketahanan pangan, yang dapat mengancam upaya pemberantasan kerawanan pangan dan kemiskinan. Hal ini tentu akan mempengaruhi penghidupan orang-orang yang rentan kerawanan pangan (food insecure people). Di sisi lain, perubahan iklim juga mengarah pada bencana alam yang berpengaruh pada dimensi ketahanan pangan, termasuk kekurangan gizi.

Adanya fakta bahwa pemanasan global berdampak pada gletser yang mencair, naiknya permukaan laut, gangguan habitat seperti terumbu karang, juga hutan, pertanian, dan kota tentu juga memicu permasalahan baru seperti hama, gelombang panas, hujan deras, dan meningkatnya banjir. Semua faktor ini dapat mengganggu dan menghancurkan pertanian dan perikanan yang akan berpengaruh pada ketahanan pangan, khususnya Indonesia yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. 

Dengan melihat fakta demikian, maka komitmen Pemerintah Indonesia untuk turut meratifikasi Paris Agreement adalah hal yang sangat tepat, sepanjang program-program yang ada diimplementasikan secara efektif. Selain itu, Indonesia dapat mengikuti skenario yang masuk akal, salah satunya adalah IMPACT Model untuk mengetahui kondisi ketahanan pangan di masa depan (future envisioning, future pathways and accounting for critical uncertainties). Sebagai rekomendasi hasil penelitian, Pemerintah Indonesia dapat melakukan antisipasi, misalnya jika Pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional, maka dapat diupayakan dengan membuka perdagangan internasional untuk menstabilkan pasokan dan pemuliaan tanaman di pertaniandengan harapan dapat menghasilkan varietas inovasi. 

Penulis: Wilda Pihatiningtyas

Link terkait tulis populer di atas sebagai berikut : https://www.scitepress.org/ProceedingsDetails.aspx?ID=6KO0HZBzzJI%3d&t=1

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).