Bagaimana Mengolah Limbah Warna Sintetik yang Ramah Lingkungan?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Tribunnews Jateng

Perkembangan industri di Indonesia yang sangat pesat menyebabkan terjadinya tekanan terhadap lingkungan yang berpotensi mengganggu sustanibiltas lingkungan. Beberapa jenis industri di Indonesia, seperti industri tekstil dan batik tradisional, menghasilkan limbah cair warna dengan jumlah besar. Limbah yang secara langsung masuk ke badan air akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Hal tersebut dikarenakan limbah warna tersebut bersifat karsinogenik, toksik, dan mutagenik apabila terpapar langsung pada makhluk hidup.

Methylene blue (MB) merupakan salah satu zat pewarna sintesis yang sering digunakan pada proses pembuatan kain batik ataupun kertas karton. Limbah cair yang mengandung MB apabila dibuang ke perairan secara langsung dapat menyebabkan pencemaran air. Badan air yang tercemar oleh limbah warna juga sangat berbahaya bila digunakan oleh manusia untuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini dikarenakan beberapa senyawa kimia dari limbah tekstil mempunyai sifat yang toksik bagi mahluk hidup yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit seperti kanker dan tidak berfungsinya organ-organ tubuh bahkan dapat menyebabkan kematian.

Surabaya menjadi salah satu kota yang badan airnya tidak luput dari pencemaran oleh zat organik.  Pencemaran zat organik perlu ditangani pada sumbernya agar tidak menimbulkan permasalahan. Beberapa teknologi dapat digunakan untuk mengolah limbah warna adalah adsorpsi, koagulasi, elektrolisis, dan lain sebagainya. Akan tetapi metode tersebut memiliki kelemahan yaitu menghasilkan produk akhir yang lebih bersifat toksik dengan jumlah yang lebih besar. Selain itu, teknologi tersebut memerlukan biaya serta maintenance yang sulit.

Fitoteknologi merupakan salah satau bioteknologi yang dapat digunakan untuk mengolah limbah warna. Pada prinsipnya, fitoteknologi memanfaatkan tumbuhan sebagai agen peremediasi serta dapat merubah zat pencemar menjadi biomassa yang dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Salah satu jenis tumbuhan yang dapat mengolah limbah warna adalah duckweed. Selain mudah ditemukan pada perairan, tumbuhan duckweed juga diketahui mampu mereduksi kandungan zat organik dan warna dalam air limbah pada kadar tertentu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyisihan MB oleh duckweed sangat dipengaruhi oleh waktu kontak duckweed dengan MB. Persentase penyisihan MB oleh duckweed adalah 0% pada 0 jam dan meningkat menjadi 4,56; 6,33; 35,58; 42,05; 48,62; dan 80,56% pada 0,5; 1; 2; 3; 4; 5; 6; dan 24 jam. Sedangkan konsentrasi MB yang tersisa adalah 50 mg/L pada 0 jam dan menurun menjadi 47,72; 44,29; 32,32; 32,21; 28,97; 25,69; 22,92; dan 9,72 pada 0,5; 1; 2; 3; 4; 5; 6; dan 24 jam. Berdasarkan hasil diatas diketahui bahwa semakintinggi waktu inkubasi warna pada tumbuhan, maka semakin tinggi juga waktu kontak antara molekul MB dengan permukaan tumbuhan.

Pada sistem floating wetland, rhizosfer pada tumbuhan memiliki peran yang sangat penting pada mekanisme penyisihan zat pencemar. Mekanisme utama pada fitoremediasi adalah phyto-uptake, phyto-stimulation, rhizodegradation, phyto-extraction, phyto-degradation, dan phyto-volatilization. Tiga dari mekanisme yang disebutkan (phyto-uptake, phyto-stimulation, rhizodegradation) terjadi di rhizosfer. Selama proses pengolahan, polutan diserap oleh tumbuhan melalui mekanisme penyerapan melalui akar; ini adalah alasan utama mengapa panjang akar harus mencapai bagian bawah reaktor. Tumbuhan juga mengeluarkan beberapa senyawa kimia yang dikenal sebagai eksudat untuk menstimulasi komunitas bakteri akar untuk melakukan degradasi (phyto-stimulation).

Eksudat juga dapat melakukan degradasi langsung jika tumbuhan memiliki kemampuan untuk mengeluarkan enzim pendegradasi (rhizodegradation). Senyawa yang teradsorpsi kemudian terakumulasi di dalam sel tumbuhan terlepas dari jenis polutan dan kemampuan tumbuhan untuk melakukan phyto-extraction. Meskipun hanya terakumulasi, beberapa senyawa jugamasuk ke reaksi enzimatik internal tumbuhan dan diubah menjadi senyawa yang berguna untuk metabolisme tumbuhan atau menjadi senyawa yang kurang beracun (phyto-degradation). Produk dari proses degradasi akan diuapkan oleh tumbuhan ke atmosfer (phyto-volatilization).

Pemanfaatan tumbuhan air sebagai agen fitoremediasi zat pewarna dianggap sebagai teknologi yang ramah lingkungan. Fitoremediasi warna dengan menggunakan tumbuhan air telah mendapat perhatian sebagai teknologi alternatif karena biaya operasional yang rendah, ramah lingkungan, produk sampingan yang tidak beracun, dan jumlah produksi lumpur yang rendah. Temuan ini terbatas pada satu jenis pewarna dan satu jenis tanaman air. Dengan demikian, studi lebih lanjut tentang penggunaan air limbah yang berbeda, kombinasi berbagai jenis tumbuhan air, dan periode pengolahan yang lebih lama sangat diperlukan. Temuan ini akan sangat membantu bagi industri dan memperkenalkan bioteknologi alternatif untuk mengolah air limbah yang terkontaminasi warna dengan menggunakan tumbuhan (fitoremediasi).

Penulis: Muhammad Fauzul Imron, S.T., M.T.

Informasi detail dari riset ini dapat dilihat pada tulisan di:

https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2405844019358669

Muhammad FauzulImron, Setyo BudiKurniawan, AgoesSoegianto, Febri EkoWahyudianto. 2019. Phytoremediation of methylene blue using duckweed (Lemna minor). Heliyon, 5(8): e02206. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2019.e02206

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).