Media Dongeng, Hidupkan Kepekaan Sensorik dan Emosi Anak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Sygma daya insani

UNAIR NEWS – Salah satu tantangan terbesar menjadi orang tua adalah mengenai cara mendidik anak. Terlebih, setiap manusia dilahirkan di dunia dengan kondisi yang berbeda-beda baik secara fisik ataupun mental sehingga perlu penanganan yang berbeda-beda pula.

Menurut Rudi Cahyono., M.Psi., Psikolog, (Rudi), menjadi orang tua tidak ada sekolahnya. Metode parenting yang baik memiliki banyak aspek yang perlu diperhatikan.

“Usia anak menjadi patokan yang utama dalam memberikan perlakuan yang sesuai dengan perkembangan,” jelas salah satu dosen di Fakultas Psikologi UNAIR itu.

Secara umum, usia seseorang dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Yaitu anak, remaja dan dewasa. Tentu, wilayah usia anak dan remaja menjadi ruang perhatian dalam pengasuhan. Sebab usia dewasa adalah waktu dimana seseorang memperhatikan pengasuhan untuk anak, bukan diperhatikan lagi dalam pengasuhan.

“Usia anak berdampak pada perlakuan untuk perkembangan kognitif, emosi, moral dan motoriknya,” jelas Rudi.

Selain usia, konteks juga dapat menjadi perhatian setiap orang tua sebagai kesempatan untuk belajar. Orang tua yang baik hendaknya memberikan perhatian yang lebih besar untuk pengalaman anak.

Setiap pengalaman anak dapat dijadikan media untuk belajar. Sebagai contoh, menyelesaikan persoalan, mengambil keputusan atau membuat pilihan, hingga menalar soal tindakan yang baik dan buruk.

“Dongeng dapat menjadi salah satu media belajar bagi anak,” ucap Rudi.

Berdasarkan sebuah riset yang dilakukan oleh McClelland, cerita rakyat yang hidup dalam sebuah Negara dapat mempengaruhi perkembangan negara tersebut dua puluh lima tahun kemudian.

Contohnya adalah Negara Inggris yang memiliki cerita rakyat tentang ksatria dan kepahlawanan. Dua pulun tahun kemudian Inggris menjadi negara maju yang diawali dengan revolusi industri.

“Dongeng dapat menjadi media belajar baik untuk perkembangan kognitif dalam menyelesaikan persoalan hidup atau untuk menunjang perkembangan pemikiran moral,” terang Rudi.

Cerita juga bisa menjadi cara untuk membangun dan menguatkan karakter. Selain itu, cerita juga menghidupkan dan menjaga kreativitas anak.

Melalui cerita, anak menghidupkan kepekaan sensorik dan emosi. Cerita memiliki komponen yang lengkap. Terdapat tokoh, interaksi, setting atau latar cerita, peristiwa hingga akhir cerita.

Cerita memberikan gambaran bagi anak untuk mengalami langsung sebuah kejadian. Sehingga, hal tersebut dapat mengaktifkan seluruh bagian otak anak.

“Aktivasi seluruh bagian otak akan memudahkan anak dalam belajar. Karena anak akan memahami sebuah konteks tidak hanya dari sisi kognitif tapi juga mengasah emosi untuk merasakan,” pungkasnya.

Penulis : Galuh Mega Kurnia

Editor : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).