Faktor Budaya Pengaruhi Nutrisi pada Balita

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
llustrasi ibu dan anak. (Sumber: Hello Sehat)

Balita dengan status gizi buruk dan kurang masih menjadi permasalahan global saat ini. Menurut UNICEF pada tahun 2012, diperoleh data 99 juta balita dengan gizi kurang, 51 juta balita kurus, dan 44 juta balita gemuk. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi balita dengan berat kurang berada pada angka 19,6%. Sedangkan kejadian gizi kurang pada masyarakat Madura yang tinggal di daerah pesisir mencapai 20,9%.

Permasalahan gizi pada balita memberikan dampak yang cukup serius pada masalah tumbuh kembang anak. Balita dengan malnutrisi cenderung memiliki daya tahan tubuh yang lemah dan mudah sakit, sehingga kehilangan waktu untuk mendapatkan stimulasi yang sangat diperlukan pada masa golden periode-nya.

Upaya untuk menangani masalah gizi pada anak sudah diterapkan oleh pemerintah secara menyeluruh. Namun, masih saja ditemukan anak dengan status gizi buruk atau kurang. Ini tentunya tidak bisa terlepas dari pengaruh faktor lingkungan dan praktik pemberian makan pada balita yang kurang tepat.

Praktik pemberian makan pada Balita sangat erat kaitannya dengan kebiasaan masyarakat secara turun temurun atau budaya yang diterapkan. Faktor budaya pada lingkungan masyarakat tertentu akan memengaruhi bagaimana cara seseorang dalam menyikapi kebutuhan kesehatan sehari hari, termasuk bagaimana menerapkan pola pemberian makan pada anak balita mereka. Hal ini sesuai dengan teori keperawatan berbasis budaya atau transcultural nursing yang menyebutkan bahwa budaya, nilai, keyakinan, akan mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang.

Ibu memiliki peran penting dalam pengasuhan anak dan memberikan asupan makanan bagi anak. Kebiasaan ibu sehari-hari dalam perawatan anak seringkali mengacu pada budaya masyarakat dimana ibu tersebut tinggal. Salah satu contoh kebiasaan yang masih ditemukan adalah memberikan makan “lotek” atau makanan dari nasi yang dilumat dengan pisang pada bayi sebelum waktunya dan anggapan bahwa anak gemuk adalah anak yang sehat.

Tradisi masyarakat dalam pemenuhan gizi yang kurang tepat dapat berakibat fatal bagi bayi dan anak.  World  Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyatakan bahwa lebih dari 50 persen kematian balita disebabkan karena kurang gizi, dan dua pertiga di antaranya terkait dengan praktik pemberian makan yang kurang tepat. Aspek budaya memiliki kontribusi yang besar dalam praktik pemberian makan pada balita. Sehingga, penting untuk menggali faktor-faktor berbasis budaya yang mempengaruhi praktik pemberian makan pada balita.

Balita Madura di Pesisir Surabaya

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu-ibu suku Madura yang tinggal di daerah pesisir kota Surabaya, yang memiliki balita dengan malnutrisi. Faktor-faktor berbasis budaya yang diukur dalam penelitian ini adalah faktor pendidikan dan nilai budaya. Faktor pendidikan terdiri dari pendidikan terakhir dan pengetahuan ibu, sedangkan faktor nilai budaya terdiri dari keyakinan pemenuhan gizi dengan tepat, gaya hidup, dan norma di masyarakat. Peneliti memperoleh data resonden dari posyandu, kemudian peneliti mengunjungi rumah masing-masing responden untuk memberikan kuesioner penelitian.

Faktor nilai budaya berdasarkan hasil penelitian ini memengaruhi bagaimana praktik pemberian makan ibu pada balita, terutama pada aspek keyakinan dan gaya hidup terkait budaya, sedangkan norma masyarakat tidak memengaruhi praktik pemberian makan ibu pada balita.

Keyakinan yang menjadi pegangan secara turun menurun pada masyarakat berdampak pada pemberian makan pada balita. Responden yang memiliki anak malnutrisi dalam penelitian ini sebagian besar masih menganut keyakinan yang kurang tepat dalam memberikan makan pada Balita.

Selain keyakinan masyarakat, gaya hidup juga memberikan kontribusi pada praktik pemberian makan pada balita sesuai hasil penelitian ini. Gaya hidup merupakan penerapan dari budaya pemberian makan yang ada pada masyarakat di daerah pesisir ini.

Ibu dengan hasil penelitian gaya hidup yang kurang tepat cenderung masih menerapkan kebiasaan pemberian makan pada balita yang kurang tepat. Seperti masih memberikan lotek pada bayi awal kelahiran dan membiarkan anak balita mengkonsumsi makanan dengan kandungan gizi yang kurang sesuai. 

Kebudayaan mempengaruhi keyakinan dan membentuk gaya hidup seseorang, yang kemudian dapat mengendalikan seseorang dalam bersikap dan berperilaku. Sehingga, diperlukan pendidikan kesehatan yang berfokus pada aspek budaya masyarakat yang tinggal di daerah pesisir. (*)

Penulis: Praba Diyan Rachmawati

Informasi detail dari Riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/246/1/012008

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).