Potensi Tungau Sarcoptes Scabiei untuk Vaksin Skabies pada Ternak

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
ilustrasi oleh liputan enam com
ilustrasi oleh liputan enam com

Skabies atau dikenal dengan kudis atau gudik adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh ektoparasit tungau Sarcoptes scabiei, yang sangat mengganggu kesehatan manusia maupun hewan karena mengalami gatal yang hebat. Kudis menimbulkan masalah kesehatan masyarakat global sebagai penyakit menular yang muncul atau muncul kembali serta menimbulkan kematian dan kerugian ekonomi yang tinggi karena bisa menurunkan system imun. Wabah skabies telah dilaporkan semakin meningkat di negara-negara industri dan menjadi beban penyakit di negara berkembang. Negara Indonesia yang beriklim tropis, dengan musim kemarau yang panjang, maka kejadian scabies bisa mencapai 80-100% pada ternak kambing maupun kelinci terutama pada daerah kering dan ditunjang dengan sanitasi kandang yang kotor.  

Sampai dengan saat ini penanggulangan skabies dilakukan dengan pemberian obat golongan scabiside atau insektisida untuk membunuh tungau S.scabiei. Tungau berkembang biak didalam lapisan kulit tanduk atau stratum korneum dengan cara membentuk terowongan. Selain itu tungau menyebabkan alergi yang ditandai dengan gatal dan timbul kerak tebal pada lapisan kulit yang terinfeksi, gejala tersebut terlihat pada daerah mulut, hidung, sekitar mata, telinga, bagian punggung dan kaki pada ternak seperti kambing, kelinci maupun hewan lain.  Permasalahan yang muncul dari penelitian beberapa negara akibat pemberian obat golongan insektisida yang terus menerus akan menimbulkan akumulasi dalam kulit dan bisa timbul resistensi  karena penggunaan obat yang tidak terkontrol dengan baik, dan mengakibatkan kerugian ekonomi semakin meningkat

Antigen S.scabiei menstimuli respon imun

Penelitian skabies telah diawali dengan riset tentang eksplorasi protein tungau S.scabiei yang diisolasi dari kambing menunjukkan sifat imunogenik yang mampu menginduksi respon imun humoral (IgG) maupun selular  (CD4, CD8, TLR2, TLR9) pada hewan coba, sehingga berpotensi untuk pengembangan vaksin maupun kit diagnostik. Berdasar penelitian tersebut maka perlu dilanjutkan dengan karakterisasi genetik DNA mitochondria dari tungau S.scabiei dengan gen COX-1 sebagai marker. Pencegahan skabies dengan program vaksinasi berbasis molekuler dengan bahan baku protein atau DNA rekombinan dari S. scabiei isolate lokal sampai saat ini belum tersedia karena kurangnya data penelitian genetik untuk S.scabiei di Indonesia. Untuk membuat DNA rekombinan diperlukan studi awal tentang karakterisasi molekuler terhadap DNA S. scabiei yang diisolasi dari kambing dan kelinci terinfeksi scabies, yang akan dikembangkan sebagai DNA rekombinan sebagai vaksin sub-unit agar kejadian skabies bisa dikendalikan.

Program vaksinasi berbasis molekuler untuk penanggulangan scabies yang disebabkan oleh S.scabiei pada ternak sampai dengan saat ini di Indonesia belum tersedia. Pengembangan penelitian untuk pengendalian skabies khususnya menggunakan vaksin sub unit dengan bahan baku protein/DNA rekombinan yang dapat menstimuli sistem imun masih terus dilakukan dengan isolat luar, sehingga perlu dilakukan karakterisasi molekuler  genetic DNA S.scabiei isolate lokal  yang bisa dikembangkan  sebagai kandidat vaksin sub-unit. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ada beberapa tahap: identifikasi, isolasi, koleksi S.scabiei dari kambing dan kelinci lokal; ekstraksi DNA, analisis PCR dengan primer gen COX-1, analisis homologi hasil sekuencing, dan analisis phylogenetik dengan program MEGA6.

Hasil penelitian pada kambing yang berasal dari Lamongan dan kelinci dari Kediri Jawa Timur menunjukkan gejala klinis kudis parah seperti: penebalan kulit, pembentukan kerak, bulu rontok, sekitar mata, hidung , mulut, seluruh telinga dan kaki. Hasil analisis PCR menunjukkan panjang nukleotida 290bp. Dengan analisis BLAST menunjukkan tingkat homologi >99% dengan S.scabiei dari data Genbank. Berdasarkan hasil homologi bahwa gen COX-1 mitochondria tungau S.scabiei yang berasal dari kambing dan kelinci memiliki kesamaan yang tinggi (>99%), artinya S.scabiei yang menginfeksi kambing dan kelinci adalah spesies yang sama dan tidak mengalami evolusi, demikian pula perbedaan daerah juga tidak berpengaruh. Hasil tersebut ditunjukkan dari analisis phylogenetic dengan berbagai isolate S.scabiei dari hewan dan negara yang berbeda bahwa gen COX-1 mitochondria S.scabiei adalah memiliki tingkat homologi yang tinggi. Hasil phylogenetik ada sekitar 18 isolat S.scabiei  dari spesies hewan dan dari berbagai negara yang mirip atau identik (100%) dari gen COX-1 pada panjang nucleotida 290 bp. Berdasarkan hasil homology yang tinggi, maka gen COX-1 DNA mitochondria S.scabiei dari kambing dan kelinci isolat lokal Indonesia berpotensi dikembangkan untuk dilakukan penelitian pembuatan DNA rekombinan sebagai pengembangan vaksin sub-unit.

Kesimpulan penelitian hasil analisis sekuencing dan phylogenetic dari gen COX-1 DNA mitochondria S.scabiei yang telah dieksplorasi dari kambing dan kelinci lokal memiliki homologi yang tinggi (>99%), maka mempunyai potensi untuk dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk mendisain DNA rekombinan sebagai bahan baku vaksin yang ramah lingkungan untuk menanggulangi scabies atau kudis pada ternak untuk meningkatkan komoditas protein hewani. 

Penulis: Prof. Dr. Nunuk Dyah Retno Lastuti, drh., M.S

Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga

Informasi lengkap dari riset ini dapat dilihat pada tulisan kami di:

Veterinary World, EISSN: 2231-0916

http:// www.veterinaryworld.org/Vol.12/July-2019/5.pdf

doi: 10.14202/vetworld.2019.959-964

Lastuti NDR, Rohman A, Handiyatno D, Chrismanto D, Desiandura K (2019) Sequence analysis of the cytochrome c oxidase subunit 1 gene of Sarcoptes scabiei isolated from goats and rabbits in East Java, Indonesia, Veterinary World, 12(7): 959-964. 

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).