Mengenal Penyakit Zoonosis Pada Sapi dan Penyebarannya

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Masyarakat sudah seharusnya cermat dalam memilah serta mengolah asupan untuk tubuh. Termasuk saat mengonsumsi daging dan susu. Sebab, keduanya adalah produk pangan yang rentan terkontaminasi oleh mikroorganisme pathogen sehingga bisa berdampak pada penyebaran penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis).

Menurut dosen Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga, Prof. Dr. Herry Agoes Hermadi, drh., M.Si., penyebaran penyakit tersebut dapat terjadi melalui berbagai macam proses, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya, ketika manusia melakukan kontak atau menyantap olahan dari hewan yang telah terinfeksi pathogen.

Sebagai seorang praktisi sekaligus konsultan di sektor peternakan sapi, Prof. Herry tahu betul mengenai seluk beluk penularan penyakit hewani yang sebagian besar dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Dia kerap menemui kandang sapi serta rumah pemotongan hewan dengan kondisi kurang layak. Ditambah, terdapat sejumlah pelaku usaha ternak sapi yang memberikan penanganan kesehatan tanpa anjuran dokter hewan.

”Saya sering menjumpai tempat pemotongan hewan yang tidak steril. Banyak kotoran seperti darah atau tinja. Dan, parahnya hanya dibersihkan menggunakan air saja. Tempat yang digunakan untuk mengemas daging juga seringkali tidak bersih. Semua itu, memungkinkan bakteri untuk menempel,” ujar peneliti limbah ternak tersebut.

Interaksi sapi dengan lingkungan menyebabkan, beragam mikroorganisme pathogen masuk ke dalam tubuh sapi. Lalu menempel ke produk pangan hewani seperti daging dan susu. Imbasnya, tidak hanya kepada antar sesama sapi melainkan juga manusia. Guru besar Ilmu Reproduksi FKH UNAIR itu menguraikan beberapa penyakit yang berbahaya bagi sapi. Di antaranya ialah Anthrax, Brucellosis, Bovine Tuberculosis, dan Toxoplasmosis.

Ilustrasi daging. (Foto: Unsplash)
Ilustrasi daging. (Foto: Unsplash)

Anthrax merupakan penyakit yang menimpa binatang pemakan rumput akibat Bacillus Anthracis. Umumnya, dapat menjangkiti manusia melalui kulit atau luka terbuka. Apabila masuk ke tubuh dapat mengakibatkan memar hitam pada kulit, sakit perut, demam, hingga kematian. Meski begitu, sebagian penderita memiliki kemungkinan untuk sembuh.

“Penyakit anthrax sudah lama ada, bahkan sejak era kolonial. Waktu itu juga pernah meletus di Blitar dan Gunung Kidul. Kalau daging sapi yang terkena anthrax dikonsumsi, bisa kacau karena penularannya sangat cepat. Kematiannya hanya menunggu hitungan hari. Tetapi sebenarnya bisa disembuhkan dengan atau tanpa antibiotik,” kata Prof. Herry.

Guna mencegah penyebaran penyakit anthrax, seorang peternak wajib mengubur bangkai sapi yang terjangkit. Dengan cara membuat lubang sesuai ukuran tubuh sapi. Kemudian sapi dikubur sedalam mungkin dan dibakar. Selanjutnya, pada lubang itu dibubuhkan kapur, tidak boleh tersentuh manusia serta dijauhkan dari sumber air tanah.

“Selain anthrax, ada brusellosis, yaitu penyakit yang disebabkan oleh genus brucella. Penyebaran penyakit ini terjadi ketika manusia meminum produk susu yang tidak dipasteurisasi atau melalui infeksi luka. Namun, daging hewan yang terkena brusella masih bisa dimakan tanpa jeroan dan dimasak betul-betul diatas 100 ‘C,” lanjutnya.

Brusella adalah merupakan persoalan penyakit dunia. Namun, beberapa negara menyatakan bebas brusella, seperti Israel, Spanyol, Irlandia Utara serta Meksiko. Sebab, mereka rutin melakukan pemeriksaan. Australia sempat memberikan pernyataan serupa. Tetapi, hasil penelitian Balai Karantina Lampung hasil berbeda. Sebanyak enam sapi berjenis BX Brahmancross dari Negeri Kanguru dinyatakan positif menderita brusella.

Sementara di Indonesia, penyakit itu menyebar di wilayah Jawa Timur, Aceh, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur hingga Papua. Kecuali di Pulau Madura yang tercantum dalam Surat Keterangan (SK) Menteri Pertanian No. 237/Kpts./PD.650/4/2015.

Ilustrasi susu segar. (Foto: Unsplash)
Ilustrasi susu segar. (Foto: Unsplash)

”Pulau Madura dikatakan aman dari Brusella, walaupun di Kabupaten Pamekasan terindikasi ada positif RBPT, tetapi setelah diuji CFT negatif. Target besaran sampel yang harus diambil sebanyak 4000 ekor sapi. Realisasi kegiatan surveillans sampel sebanyak 2331 ekor sapi. Semua menunjukkan negatif brusellosis,” ujar peraih satya lancana itu.

Pemberlakuan vaksin brusella sudah semestinya diwajibkan karena penyakit ini menjadi penyebab sapi di Indonesia tidak berkembang. Jika pemerintah rutin melakukan pemeriksaan Rosebengal Plate Test (RBPT) dengan cara kualitatif positif dan negative  atau pemeriksaan lebih akurat dengan Complement Fixation Test (CFT) rutin sebanyak dua kali dalam setahun, Indonesia dapat bebas dari brusella. Indikator positif brusella pada rentan 100 sampai di atas 100. Tetapi bila belum pernah divaksin, 75, dinyatakan positif.

Seperti halnya anthrax dan brusella, penyakit bovine tuberculosis juga dapat menyebar melalui daging maupun susu. Akarnya permasalahannya berasal dari mycobacterium bovis. Ditandai dengan adanya lesi di bagian paru-paru serta limponodus. Hewan yang menderita penyakit bovine tuberculosis akan menunjukkan gejala berupa batuk dengan kelenjar limfe. Bila penyakit berlanjut, maka dapat menyebar hingga ke daging.

Penyakit terakhir adalah toxoplasmosis yang disebabkan oleh parasit toksoplasma gandii. Peredarannya bermula dari hewan, khususnya kucing jalanan. Tokso merupakan protozoa pada kucing tetapi dapat menyebar ke hewan lain, daging, dan manusia. Di dalam parasit ini terdapat ookista. Apabila sampai tertelan manusia akan sangat berbahaya, terutama bagi ibu hamil karena bisa menyebabkan sang bayi menderita idiot dan hidrosefalus.

“Kunci menghadapi persebaran penyakit, tentunya menjaga kebersihan lingkungan. Untuk yang bergerak di bidang peternakan, selalu gunakan alat pelindung seperti glove saat menyentuh hewan, lakukan pasteurisasi pada susu, dan apabila memerlukan penangan medis hubungi dokter hewan. Jangan asal memberi obat,” tegas Prof. Herry.

Dia pun berharap agar terdapat kolaborasi antara seluruh tenaga kesehatan, meliputi kesehatan masyarakat maupun kesehatan hewan. Masyarakat juga memiliki andil dalam menjaga lingkungan agar terhindar dari penyebaran penyakit. Yakni dengan mencermati keberadaan penyakit di daerah masing-masing dan mengolah makanan secara tepat. (*)

Penulis  : Nabila Amelia

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).