Industri Kertas dan Deforestasi Hutan, Haruskah Beralih Pada Dunia Digital ?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Liputan6,com
Ilustrasi oleh Liputan6,com

Penggunaan kertas di Indonesia bisa dibilang cukup tinggi. Bahkan menurut kementerian perindustrian republik Indonesia (Kemenperin), pada tahun 2013 Indonesia menempati peringkat ke-9 untuk produsen pulp terbesar di dunia dan ke-6 untuk produsen kertas di dunia.

Disisi lain, menurut Forest Watch Indonesia (FWI) pada bukunya yang diterbitkan pada tahun 2018, berjudul “Deforestasi Tanpa Henti : Potret Deforestasi di Sumatera Utara, Kalimantan Timur dan Maluku” mengatakan bahwa pada periode tahun 2009 hingga 2013, hutan Indonesa hilang seluas 1,13 juta hektar setiap tahunnya. Menurut FWI, kecepatan hilangnya hutan Indonesia tersebut setara dengan tiga kali luas lapangan sepak bola per menit.

Tidak mengherankan apabila besarnya produksi kertas dan isu deforestasi hutan tersebut akhirnya membuat para pemerhati lingkungan merasa khawatir. Hingga akhirnya muncul berbagai gerakan untuk hemat kertas. Salah satu cara yang paling banyak digunakan saat ini adalah dengan menggunakan media digital sebagai pengganti kertas.

Kesehatan

Dari sisi kesehatan, penggunaan kertas dirasa lebih sehat daripada penggunaan gawai. Beberapa hal yang dikhawatirkan masyarakat ketika terlalu lama menggunakan gawai seperti laptop dan ponsel pintar adalah radiasi, kesehatan mata dan keluhan otot. Bahkan beberapa artikel mengatakan bahwa radiasi elektromagnetik dapat mengakibatkan kanker seperti leukemia.

Meskipun begitu, membaca melalui media cetak seperti koran, skripsi, novel dan lain sebagainya tidak serta merta akan terbebas dari gangguang kesehatan. Posisi membaca yang tidak tepat, pencahayaan yang kurang dan intensitas membaca juga dapat mempengaruhi kesehatan mata seperti rabun jauh.

Efektivitas

Dari sisi efektivitas, penggunaan kertas misalnya untuk konsultasi dengan dosen mempermudah dalam menandai bagian mana saja yang perlu direvisi. Coretan-coretan dosen pada kertas dirasa lebih eye catching dan tegas. Mahasiswa juga bisa langsung melihat bagian-bagian mana yang diberi tanda oleh dosen secara langsung.

Sementara itu, apabila berkonsultasi menggunakan laptop maka setidaknya ada dua gawai yang digunakan. Yaitu oleh dosen dan oleh mahasiswa. Sehingga, mahasiswa harus pandai-pandai mengikuti sudah sampai mana dosen membahas tugas yang dia kerjakan agar tidak tertinggal.

Selain itu, proses revisi oleh dosen juga tidak semudah apabila menggunakan kertas. Ada beberapa tombol yang harus digunakan oleh dosen untuk menandai bagian-bagian mana yang salah dan perlu perbaikan. Mahasiswa juga harus menunggu hingga dosen selesai menandai seluruh bagian yang perlu revisi untuk kemudian baru bisa meminta salinan file hasil konsultasi tersebut untuk diperbaiki. Penggunaan satu gawai mungkin bisa saja terjadi apabila mahasiswa tidak sungkan untuk ikut nimbrung dengan piranti yang digunakan oleh dosen.

Bagi saya pribadi, konsultasi dengan menggunakan gawai membuat saya kesulitan memahami bagian mana yang salah dan kenapa bagian itu salah. Hal tersebut karena biasanya saya menerima hasil jadi konsultasi, dan lebih sering tertinggal ketika waktu diskusi bersama dosen karena lebih sering tertinggal bagian-bagian yang dibahas oleh dosen saat itu.

Lingkungan

Disisi lain, penggunaan kertas akan memakan banyak tempat dan uang. Tidak bisa dibayangkan sebanyak apa kertas yang harus digunakan oleh mahasiswa khususnya para pejuang skripsi apabila setiap konsultasi harus di print out. Kertas yang selesai dicoret-coret oleh dosen tersebut pada akhirnya juga akan menjadi sampah. Meskipun kertas bisa didaur ulang, mahasiswa tetap harus menyisihkan uang untuk print. Jikapun memiliki printer sendiri, mereka juga perlu membeli tinta, kertas, listrik dan perawatan untuk printer itu sendiri.

Penggunaan gawai tentu dirasa lebih ramah lingkungan jika berbicara soal limbah kertas. Mengingat, file yang salah tersebut hanya perlu diedit atau dihapus tanpa harus mengeluarkan limbah. Terlebih bagi para penganut gaya hidup minimalis. Kehadiran teknologi tentu sangat membantu dalam mengurangi kepemilikan benda.

Menurut Fumio sasaki pada bukunya yang berjudul Goodbye, things : Hidup minimalis ala orang Jepang, ponsel pintar biasanya menjadi barang yang terakhir dibuang atau malah terus dipertahankan oleh para minimalis. Hal tersebut karena fungsinya yang beragam dan dapat dibawa kemana-mana sehingga memungkinkan untuk hidup dengan sedikit barang.

Dari beberapa pertimbangan tersebut, apakah sudah saatnya bagi kita untuk beralih pada dunia digital?

Berita Terkait

Galuh Mega Kurnia

Galuh Mega Kurnia

Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR