Menyoal Impor Limbah di Indonesia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
PESERTA bersama pembicara dalam diskusi publik bertajuk Negeriku Bukan Tempat Sampahmu di Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga, pekan lalu (18/6/19). (Foto: Istimewa)
PESERTA bersama pembicara dalam diskusi publik bertajuk Negeriku Bukan Tempat Sampahmu di Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga, pekan lalu (18/6/19). (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Dua orang pria lanjut usia tengah asyik mendorong tumpukan sampah berbentuk bola dalam ukuran sedang sembari melakukan transaksi. Tak jauh dari mereka, terlihat seorang wanita ikut hilir mudik dan memilah-milah gundukan sampah yang telah menggunung tidak jauh dari tempat ketiganya berada. Meski bau menyengat terasa menguji indera penciuman, namun mereka tidak peduli. Asal dapat tetap mencari nafkah.

Setidaknya, begitulah potret salah satu daerah di Jawa Timur dalam cuplikan film dokumenter berdurasi 16 menit yang berjudul Take Back. Di mana penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai pemungut sampah. Sampah yang telah dipilah akan dijual ke beberapa perusahaan kertas untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku. Tetapi, pernahkah kita mempertanyakan, darimana limbah yang tak terhitung jumlahnya tersebut berasal?

Pertanyaan di atas dapat terjawab setelah kita menyaksikan secara utuh, karya besutan The Party Department yang bekerja sama dengan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) dan Paradoc Film. Dalam investigasi mereka, Indonesia memiliki 55 industri kertas dan 22 di antaranya berada di Jawa Timur. Sebanyak 80 persen bahan baku mereka berasal dari limbah kertas impor dan dicurigai disusupi pula oleh plastik.

”Hal ini memungkinkan, karena saat produk impor ini dibutuhkan oleh industri, maka dikategorikanlah kertas ini menjadi green line. Artinya, sampah-sampah tersebut bebas masuk tanpa melalui kontrol oleh bea cukai,” begitulah potongan dialog yang dibawakan Prigi Arisandi selaku narator sekaligus direktur eksekutif Ecoton pada film Take Back.

Dalam diskusi publik hasil inisiasi Airlangga Institute for International Law Studies (AIILS) dan Ecoton pekan lalu (18/6/19), Prigi menyampaikan bahwa praktik impor limbah itu telah berlangsung sangat lama. Beberapa petani, bahkan beralih menjadi pemungut dan pemilah limbah plastic karena dinilai lebih menguntungkan. Namun, banyak plastik yang kemudian tidak dapat terurai dan masuk ke air tanah. Lalu berubah menjadi mikro plastik.

”Mikro plastik ini dapat masuk ke air, tanaman, dan ikan yang akhirnya dapat berbahaya apabila dikonsumsi manusia. Ecoton telah bekerja keras untuk mengkampanyekan Konvensi Basel serta meminta negara-negara pengimpor untuk mengambil kembali sampah plastiknya,” tegas aktivis lingkungan, jebolan jurusan Biologi UNAIR itu.

CONTOH limbah plastik impor yang diambil dari salah satu daerah di Jawa Timur. (Foto: Nabila Amelia)
CONTOH limbah plastik impor yang diambil dari salah satu daerah di Jawa Timur. (Foto: Nabila Amelia)

Dihimpun dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, terdapat peningkatan impor limbah Indonesia sebesar 141 persen dari tahun sebelumnya, atau setara dengan 283.152 ton. Itu merupakan titik yang tertinggi impor Indonesia selama 10 tahun terakhir. Meningkatnya limbah impor, diduga karena China telah menghentikan impor sampah pada 2018 silam. Sehingga sasaran ekspor limbah negara-negara maju beralih ke kawasan Asia Tenggara.

Ketua Departemen Hukum Internasional FH UNAIR, Iman Prihandono S.H., M.H., LL.M., Ph.D., menuturkan bahwa penggunaan plastik terbesar ada pada packaging dan tekstil. Dia membeberkan data dari Greenpeace mengenai eksportir limbah terbanyak ke Indonesia pada tahun 2018. Yakni, Inggris (67.807 ton), Jerman (59.668 ton), Australia (42.130 ton), Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Belgia, Prancis, Spanyol, serta Hongkong.

”Bila tidak ada regulasi yang signifikan, dikhawatirkan akan lebih banyak lagi limbah impor yang masuk. Industri kertas selaku pengimpor limbah kertas yang bercampur plastik, seharusnya ikut bertanggung jawab. Izin impor mereka perlu diaudit kembali dan bila perlu diberhentikan sementara, sampai jelas bentuk tanggung jawab mereka,” imbuhnya.

Terkait regulasi impor limbah, peneliti muda AIILS, Dewi Santoso S.H., menambahkan bahawa bila pemerintah telah mencanangkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/5/2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun.

”Impor limbah scrap dibolehkan, tapi tidak boleh menyisakan residu atau tercampur dengan bahan yang tak bisa didaur ulang. Izin impor kertas bekas tidak boleh diterbitkan untuk importir umum, melainkan hanya untuk produsen industri kertas,” sebutnya.

Dewi menjelaskan jika regulasi seputar impor limbah, tidak hanya terdapat di dalam negeri. Namun, juga tercantum dalam berbagai instrumen hukum internasional. Satu di antaranya adalah Konvensi Basel.

Secara garis besar, Konvensi Basel memuat suatu perjanjian yang mengontrol pergerakan sampah dan limbah berbahaya beracun dari satu negara ke negara lain. Terutama dari negara maju ke negara berkembang.

”Konvensi Basel mensyaratkan negara produsen sampah plastik untuk mendapatkan persetujuan sebelum mengekspor sampah beracunnya ke negara lain. Selain itu, impor yang diperbolehkan hanya yang sudah melalui tahapan daur ulang,” ujarnya.

Belakangan ini, Asia Tenggara telah menunjukkan keseriusannya dalam menangani persoalan limbah. Malaysia menjadi sorotan pasca gebrakannya saat mengirim balik 60 kontainer berisi sampah ke 14 negara asal, termasuk Amerika Serikat. Pada Juli 2018, negeri jiran juga mencabut izin dan menargetkan pelarangan impor. Hal itu kemudian memantik reaksi dari Thailand, Vietnam, dan Filipina untuk melakukan hal yang serupa.

”Indonesia sendiri telah melakukan pengembalian 5 kontainer milik PT Adiprima Suraprinta untuk dikembalikan atau dire-ekspor ke Amerika Serikat,” pungkas Dewi. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).