Dosen FEB Sebut Kenaikan Tarif Pesawat karena Duopoli di Industri Penerbangan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
RUMAYYA Batubara, S.E., M.Reg.Dev., Ph.D. (Foto: Nabila Amelia)
RUMAYYA Batubara, S.E., M.Reg.Dev., Ph.D. (Foto: Nabila Amelia)

UNAIR NEWS – Sejak beberapa bulan lalu, publik dibuat resah oleh kabar mengenai lonjakan tiket pesawat yang cukup drastis, terutama pada rute dalam negeri. Gelombang protes pun kian meningkat kala Lebaran tiba. Bahkan, sejumlah masyarakat memutuskan untuk tidak kembali ataupun menunda keberangkatan mereka ke kampung halaman.

Menurut para pengamat ekonomi, persoalan tersebut dapat ditenggarai oleh beragam faktor. Seperti biaya avtur dan infrastruktur bandara yang dinilai terlalu mahal, inefisiensi pada kebijakan pemerintah, hingga adanya struktur bisnis yang didominasi oleh dua perusahaan saja (duopoli). Hal itu kemudian berdampak pada shifting moda dan inflasi.

Terkait peningkatan tiket pesawat, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga Rumayya Batubara, S.E., M.Reg.Dev., Ph.D., turut memberikan pendapatnya. Dia menuturkan bahwa penyebab dari permasalahan itu cenderung disebabkan oleh faktor duopoli yang merupakan fenomena lawas di industri penerbangan Indonesia.

”Sebelum era reformasi, terdapat kartel antar maskapai penerbangan yang menyebabkan pada mahalnya harga tiket pesawat. Sejak tahun 2000-an, industri penerbangan mengalami deregulasi sehingga mempermudah masuknya pemain baru. Ini berdampak pada keadaan pasar yang semakin sehat dan kompetitif. Sehingga harga tiket pesawat menjadi lebih murah,” terang pengajar yang memiliki fokus riset ekonomi publik tersebut.

Dalam perkembangan industri penerbangan, ada upaya dari para pemain besar untuk melakukan akuisisi terhadap maskapai penerbangan lain. Jika di awal periode reformasi kepemilikan maskapai tersebar, dalam 5-10 tahun terakhir justru kepemilikan maskapai terpolarisasi ke dalam dua pemain besar. Yakni Garuda Indonesia dan Lion Air.

Keduanya bersaing untuk memperluas pasar. Salah satunya dengan melakukan banting harga.

”Kalau soal tingginya harga avtur, kemarin sudah diklarifikasi dan lebih murah dibandingkan negara lain di Asia Tenggara seperti Singapura dan Malaysia. Ada juga yang mengemukakan bahwa sebagian besar dari penguna jasa penerbangan adalah perjalanan dinas dari korporat atau pemerintah. Sehingga tidak peka terhadap perubahan harga,” imbuh dosen yang meraih program doctoral di University of Western Australia itu.

Sampai saat ini, pemerintah terus berupaya menggodok berbagai kebijakan guna menjawab kerisauan dari masyarakat. Pekan lalu, pihak yang berwenang meluncurkan ketentuan berupa penurunan tarif batas atas.

Sebagai informasi, tarif batas atas adalah peraturan yang digunakan pemerintah untuk melindungi konsumen agar harga tiket tidak terlalu tinggi. Sebaliknya, tarif batas bawah menjaga produsen supaya juga tidak merugi.

”Jadi, pemerintah harus yakin dulu keseimbangannya di mana, apakah pada tarif batas atas atau tarif batas bawah? Saya rasa memasukkan kompetitor asing cukup efektif. Karena kalau minim pemain, berarti kan industrinya sedang tidak sehat,” ujar Rumayya.

Alternatif itu harus memperhatikan penyebab dari peningkatan harga tiket. Apakah karena persaingan tidak sehat semacam kartel? Bila harga tinggi terjadi karena inefisiensi di luar kontrol maskapai, lebih baik dilindungi dan tidak mengundang pemain asing. Namun, dengan mengeluarkan kebijakan guna mengurangi inefisiensi eksternal tersebut.

”Salah satu kebijakan yang dapat mengurangi inefisiensi eksternal adalah dengan menggunakan insentif fiskal untuk mengurangi beban pajak industri penerbangan. Hal ini penting dilakukan mengingat komponen suku cadang pesawat mayoritas impor, sedangkan nilai tukar rupiah sedang dalam kondisi melemah terhadap mata uang asing. Dengan memberikan keringanan pajak, pemerintah bisa meredam faktor pendorong kenaikan harga tiket dari sisi eksternal perusahaan penerbangan,” jelasnya.

Di lain pihak, Rumayya menilai bila penurunan tarif batas atas ke angka 16 persen saat ini masih sangat kurang dari sudut konsumen. Padahal, kenaikan tiket pesawat nyaris satu atau hampir dua kali lipat dari harga normal.

Dia lebih setuju jika regulasi terkait batas tarif itu dicabut. Sebab, secara psikologis, dengan adanya pemberlakuan regulasi tarif, maskapai akan memasang harga atas demi memaksimalkan keuntungan yang ditetapkan pemerintah.

Meskipun harga keekonomian maskapai terbentuk di bawah batas atas kebijakan. Rumayya mengusulkan pemerintah berani mengeluarkan kebijakan kepada maskapai untuk menerapkan harga pada biaya rata-rata per-unit-nya (AC Pricing).

”Artinya, pemerintah memaksa agar maskapai menjual tiket sesuai dengan harga produksi per unit setelah menghitung masalah cicilan, hutang dan lain-lain. Jadi, mereka produksi di average cost yang disesuaikan dengan dinamika perusahaan. Apalagi untuk perusahaan pemerintah seperti Garuda, bisa menerapkan zero profit selama tidak rugi dan bisa memberikan manfaat yang lebih besar ke masyarakat,” pungkasnya. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).