Tiga Mahasiswa UNAIR Manfaatkan Teknologi 3D Printing untuk Mengatasi Spinal Tuberculosis

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
PK II
TIM PKM-PE Spinal Tuberculosis saat melakukan eksperiman di FST UNAIR. (Foto: Istimewa)

UNAIR NEWS – Tuberculosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang cukup banyak ditemui di Indonesia. Dengan angka kasus mencapai 1,2 juta jiwa meninggal akibat penyakit ini. Menurut data yang dirilis oleh WHO, Indonesia menempati peringkat 3 sebagai negera dengan penderita TB terbanyak di dunia.

Melihat kondisi yang seperti itu, ketiga mahasiswa Teknik Biomedis Universitas Airlangga, ialah Inten Firdhausi Wardhani, Rofi Mega Rizki Samudra, dan Katherine (2016) mengajukan proposal Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian Eksakta (PKM-PE) yang berjudul “Prospek 3D Printing dalam Pembuatan Scaffold Tulang sebagai Penghantar Obat Spinal Tuberculosis”.

Mengenai karya tersebut, Inten selaku ketua tim mengatakan bahwa di era Revolusi Industri 4.0 yang sedang hangat dibicarakan belakangan ini, sangat ada peluang untuk membuat suatu inovasi guna mengatasi masalah tersebut. Untuk itu, Inten dan tim ingin memanfaatkan teknologi 3D printing yang merupakan salah satu dari lima teknologi utama yang menopang sistem industri 4.0 sebagai alat untuk mencetak perancah tulang (bone scaffold).

“Proposal penelitian ini berhasil mendapatkan dana hibah yang diberikan oleh Kemenristekdikti melalui program PKM tahun 2018. Berbekal dana tersebut kami melakukan pengembangan ide proposal tersebut di Laboratorium Fisika Material, Fakultas Sains dan Teknologi UNAIR,” jelasnya.

Selanjutnya, Inten juga mangatakan bahwa pengembangan yang dilakukan berupa bone scaffold hasil3D printing yang diinjeksikan pasta IBS didalamnya. Bone scaffold, jelasnya, merupakan teknologi yang telah banyak dikembangkan di ranah rekayasa jaringan sebagai ‘rumah’ untuk tumbuhnya jaringan tulang yang baru.

“Dengan menggunakan teknologi 3D printing, bone scaffold dapat didesain sesuai dengan bentuk kerusakan tulang sehingga dapat bermanfaat sebagai penunjang sementara jaringan tulang yang rusak akibat bakteri,” paparnya.

Selai itu, lanjut Inten, bahan yang digunakan juga terbukti aman dan akan terdegradasi oleh cairan tubuh. Pasta IBS sendiri, jelasnya, berperan sebagai pengisi sekaligus obat antibiotik untuk spinal tuberculosis.

“Keduanya akan menjadi kombinasi yang sangat efektif untuk mengatasi spinal tuberculosis dengan menggantikan struktur tulang belakang yang rusak akibat bakteri, sekaligus melakukan penghantaran obat secara lokal,” jelas Inten.

Pada akhir, Inten juga mengharapkan bahwa teknologi yang ia ciptakan bersama tim dapat menjadi terobosan baru yang lebih efektif untuk mengatasi spinal tuberculosis.

“Sebagai tambahan, Scaffold 3D printing yang digunakan juga telah terbukti sebagai metode yang efektif, efisien, dan murah jika dibandingkan dengan metode pembuatan scaffold tulang lainnya,” pungkasnya.

Penulis: Tim PKM-PE Spinal Tuberculosis

Editor: Nuri Hermawan

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).