Dosen Ilmu Sejarah UNAIR Berbagi Cerita Halalbihalal di Sulawesi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Dosen Ilmu Sejarah FIB UNAIR Sarkawi B. Husain saat mengisi sebuah acara seminar di kampus. (Dok. Istimewa)

UNAIR NEWS – Halalbihalal sudah menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia. Tradisi halalbihalal bahkan sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Mengutip dari historia.id, tradisi halalbihalal sudah tercetus sejak 1935 di Surakarta.

Dosen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR) Dr. Sarkawi B. Husain, S. S., M. Hum. berbagi cerita tentang halalbihalal di provinsi kelahirannya, Sulawesi. Penulis buku Sejarah Masyarakat Islam Indonesia itu memberikan gambaran halalbihalal setiap daerah yang memiliki keunikan masing-masing.

Sarkawi, sapaan karibnya, menjelaskan bahwa tradisi halalbihalal yang ada di Sulawesi tidak mengenal istilah kupatan (hari raya ketupat). Halalbihalal yang ada di Sulawesi lebih menekankan pada silaturahmi antar keluarga dan tetangga yang lebih menonjol.

“Tradisi halalbihalal di kampung saya uniknya dilakukan tujuh hari untuk silaturahmi,” ungkapnya.

Halalbihalal setiap daerah juga memiliki persamaan. Sungkeman kepada orang tua menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dalam setiap lebaran. Makna halalbihalal yang saling memaafkan juga menjadi penguat hubungan antar anggota keluarga bahkan antar masyarakat.

Imam kampung atau tokoh agama menjadi sosok yang paling sibuk saat lebaran. Sang imam kampung harus menyiapkan rumahnya untuk didatangi keluarga dalam tujuh hari. Tidak hanya keluarga, tetangga, ataupun masyarakat kampung lain yang memiliki ikatan keluarga ikut meramaikan rumah sang imam.

“Bapak saya dulu imam kampung menjadikan saya sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu selama tujuh hari,” ujarnya.

Sebelum lebaran, masyarakat di Sulawesi melakukan tradisi mappasilele. Mappasilele adalah memberi makanan kepada saudara atau tetangga. Uniknya, piring yang digunakan untuk mengirim makanan harus mampu dikembalikan oleh penerima dengan makanan kembali. Tradisi unik ini sudah dilakukan turun temurun dan mampu mempererat hubungan dalam masyarakat.

Hal lain yang ada dalam halalbihalal di Sulawesi adalah anak kecil tidak mendapat angpao, melainkan hanya makanan. Makanan yang sering menjadi dibawa anak kecil adalah kacang atom yang disimpan dalam saku. Selain itu, makanan nasi jahat atau nasi lemang menjadi ciri khas saat lebaran.

Dalam perkembangannya, perubahan-perubahan tradisi di masyarakat mulai sedikit hilang. Sarkawi menambhahkan sikap masyarakat yang lebih individualis perlahan melunturkan tradisi. Terlepas dari itu semua, halalbihalal adalah sebuah wadah yang mampu mengembalikan mempererat persaudaraan antar manusia. (*)

Penulis: Aditya Novrian

Editor: Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).