Soal Virus Cacar Monyet, Pakar UNAIR Sebut Jangan Terlalu Khawatir, Tetap Waspada

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Beberapa waktu lalu, publik sempat dikejutkan dengan pemberitaan mengenai wabah cacar monyet (monkeypox) di Singapura. Kabar ini berhembus setelah seorang pria asal Nigeria dinyatakan positif terjangkit penyakit tersebut. Merespon hal itu, otoritas setempat segera melarikannya ke ruang isolasi di National Centre for Infectious Desease (NCID) dan melakukan karantina guna mencegah penyebaran virus.

Beberapa foto penderita cacar monyet beredar luas di linimasa, sehingga cukup meresahkan sejumlah masyarakat Indonesia. Mengingat letaknya yang berdekatan dengan negeri singa. Tetapi, pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan preventif berupa pemasangan detektor di pelabuhan dan bandara untuk mendeteksi suhu tubuh warga negara asing maupun lokal yang datang dari luar negeri, khususnya Singapura.

Mengenal Virus Cacar Monyet atau Monkeypox

Menanggapi hal ini—Guru Besar Virologi dan Imunologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga—Prof. Dr. drh. Suwarno, Msi., turut angkat bicara. Ia menegaskan bila masyarakat tidak perlu terlalu khawatir dan tetap waspada terhadap cacar monyet. Sebab, dinas kesehatan belum menemukan keberadaan inang dari virus tersebut di sini.

“Biasanya, penderita monkeypox dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu 14 sampai 21 hari. Tapi bisa berakibat fatal jika pasien mengalami infeksi sekunder atau komplikasi,” terang Prof. Soewarno saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis lalu (23/5/19).

Dia menuturkan, bahwa persentase kasus fatal hanya sebesar satu hingga sepuluh persen. Dan, sebagian besar di antaranya terjadi pada kelompok usia dini yang berumur sembilan sampai lima belas tahun. Bahkan, pernah berdampak pada kematian anak-anak di Afrika.

Dunia medis mengklasifikasikan cacar monyet ke dalam kategori zoonosis atau penyakit yang menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Tetapi, mulai terdapat kecenderungan menular antar manusia. Termasuk baru ditemukan (new emerging desease), yakni pada tahun 1958 dan terlokalisir di Afrika sampai dengan sebelum 2003.

“Baru pada tahun 2003 meluas ke Amerika (47 kasus), tahun 2018 menuju Inggris (3 kasus) dan Israel (1 kasus), serta tahun 2019 di Singapura ini,” ujar penemu spray flu burung ini.

Virus monkeypox (MPV) merupakan anggota dari genus Orthopoxvirus dari famili Poxviridae. Mirip dengan variola (cacar manusia), vaccinia (virus anak sapi), cowpox (virus sapi dewasa) dan camelpox (virus unta). Ukurannya mencapai 140-260nm, dengan panjang 220-450nm, beramplop, sedikit pleomorfik, inti berbentuk halter dengan lateral tubuh, simetri kompleks dengan genom linier dan memiliki panjang genom 196.858bp.

“Sebelum cacar monyet, dunia dikejutkan oleh munculnya penyakit cacar pada manusia atau variola. Jika menginfeksi kulit, tingkatannya dalam dan akan meninggalkan bekas berupa bopeng. Tetapi sudah berhasil dibasmi sejak 1970-an. Jadi ada semacam hubungan tertutup juga antara keduanya,” jelas alumnus FKH UNAIR tahun 1987 itu.

Saat ini terdapat dua clade MPV, yang dikenal dengan istilah Congo Basin dan West African. Namun, secara patogenitas maupun gejala klinik serta epidemiologik terdapat perbedaan. Infeksi yang ditimbulkan oleh Congo Basin lebih parah dibanding West African. Juga bisa menimbulkan resiko kematian yang lebih tinggi pada penderitanya.

Proses Penularan dan Gejala yang Harus di Waspada

Cacar monyet dapat menular dari hewan ke hewan atau dari hewan ke manusia melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi. Materialnya seperti darah, cairan tubuh, serta lesi kutaneus. Beberapa info juga menyatakan bahwa memakan daging yang kurang masak dari hewan penderita dapat berakibat pada penularan ke spesies lain.

“Selain primata, kita juga harus mewaspadai hewan-hewan yang berperan sebagai reservoir. Seperti pada kelompok rodent meliputi tikus, kelinci, landak, trenggiling dan tupai,” terang laki-laki yang juga menjabat sebagai wakil dekan tiga FKH UNAIR tersebut.

Masa inkubasi cacar monyet berkisar antara enam hingga enam belas hari. Pada hari pertama pasca infeksi, virus berkembang biak dan menimbulkan peradangan lokal. Kemudian beranjak menuju pembuluh darah. Lima hari pertama akan ditandai dengan demam, sakit kepala, pembengkakan limfoglandula, serta nyeri di beberapa bagian tubuh. Setelah demam, gejala dilanjutkan dengan munculnya ruam pada kulit dari tahap papula, berubah menjadi vesikel, pastula, diikuti dengan kusta dalam waktu sepuluh hari.

“Sebanyak 70% kasus terjadi di wajah, 30% di area genital, sisanya di mata. Pada kasus lain ada yang di punggung, tangan atau paha. Sangat bervariasi,” ujarnya.

Upaya Pencegahan dan Peran Institusi Pendidikan

Tidak ada obat ataupun vaksin yang dapat mencegah cacar monyet. Namun, vaksin smallpox dapat mengurangi resiko infeksi MPV di Afrika. Sementara pengobatan pasien akan menggunakan antiviral cidofovir. Upaya untuk mencegah penularan di daerah endemik adalah menghindari kontak dengan hewan rodent, primata serta penderita. Menjaga kesehatan serta lingkungan juga penting dilakukan agar terhindar dari penyakit.

Pencegahan yang lebih luas juga dilakukan oleh Indonesia One Health University Network (Indohun). Yakni, organisasi di tingkat dunia yang bekerja sama dengan seluruh perguruan tinggi yang memiliki fakultas kedokteran, kedokteran hewan, keperawatan dan kesehatan masyarakat. Indohun telah melibatkan sekitar 20 perguruan tinggi dan 34 fakultas se-Indonesia termasuk UNAIR dalam melakukan sosialisasi dan mengobati zoonosis.

“Di UNAIR namanya Airlangga Desease Prevention and Research Center (ADPRC). Jadi penyakit ini minimal akan dikeroyok oleh tiga ahli serta melibatkan bidang-bidang lain dari ahli sosial, ahli lingkungan dan ahli budaya. Agar penanganannya maksimal,” tutupnya. (*)

Penulis  : Nabila Amelia

Editor    : Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).