Mendalami Alasan Dibalik Kerentanan Depresi di Kalangan Millennial

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Foto: Galuh Mega Kurnia

UNAIR NEWS – Menurut Howe & Strauss (2000), generasi millennial merupakan generasi yang lahir pada tahun 1982 hingga 2000. Sebagian besar hasil penelitian mengungkapkan bahwa generasi millennial tidak bisa lepas dari teknologi, utamanya internet dan media sosial.

Menurut Dr. Hamidah M.Si., Psikolog, pakar psikologi Universitas Airlangga (UNAIR), kecenderungan millennial yang tidak bisa lepas dari media sosial membuat mereka mengalami risiko terkena gangguan kesehatan mental. Misalnya seperti depresi, kecemasan, dan gangguan perilaku seperti nomophobik.

“Beberapa penelitian sepuluh tahun terkahir ini, ditemukan bahwa yang berperan dalam gangguan depresi adalah interaksi dengan orang lain,” jelas Dr. Hamidah ketika ditemui oleh pihak UNAIR NEWS.

Sebagai makhluk sosial, manusia butuh untuk berinteraksi dengan sesama. Ketika interaksi sosial yang dilakukan mengakibatkan sesuatu yang tidak menyenangkan, yang membuat tidak nyaman, kemudian diterjemahkan atau diinterpretasikan sebagai sesuatu yang negatif oleh diri sendiri maka dapat mengakibatkan depresi.

Meskipun begitu, menurut Dr. Hamidah, risiko terjadinya depresi justru akan meningkat jika interaksi sosial seseorang tersebut berkurang. Hal itu dikarenakan dalam berinteraksi dengan orang lain,  ego yang menjadi bagian dari kepribadian seseorang akan terasah dalam menjembatani  adanya konflik yang dialami oleh id dan super ego.

“Terdapat tiga aspek kepribadian manusia menurut Freud yaitu Id, Ego, dan Superego. Yang membuat kepribadian seseorang kuat adalah ketika ego seseorang terasah dan berkembang seiring dengan banyaknya pengalaman,” ucap Dr. Hamidah.

Sementara itu, ketika seseorang menggunakan media sosial terlalu sering, maka interaksinya di dunia nyata akan semakin berkurang. Di dunia maya, seseorang tidak berhadapan langsung dengan pengalaman yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Meskipun begitu hal tersebut dapat membuat mereka berkembang menjadi lebih dewasa dan matang dalam menyikapi berbagai situasi.

“Dunia maya banyak dipilih oleh orang-orang yang sebetulnya secara sosial tidak terlalu suka berinteraksi secara langsung dengan  orang lain ,” pungkasnya.

Ketika berinterkasi secara langsung dan mendapatkan feedback atau respon negatif dari seseorang maka mau tidak mau individu tersebut harus menghadapinya. Proses itulah yang memberikan pengalaman dan pembelajaran bagaimana seseorang belajar mengelola konflik.

“Konflik tersebutlah yang membuat kepribadian individu menjadi kuat karena adanya proses belajar. Tergantung bagaimana individu tersebut menerjemahkan dan menyikapi stimulus yang ada,” jelasnya.

Semakin berkurangnya interaksi ditambah dengan semakin terlibatnya individu di dunia maya, maka terdapat satu sisi pengembangan yang kurang. Dengan begitu, besar kemungkinan individu tersebut mudah mengalami gangguan kesehatan mental.

Keluarga merupakan pihak yang berperan dalam perkembangan mental individu. Sementara menurut Dr. Hamidah, keluarga yang hidup di awal tahun 2000 merupakan keluarga yang memiliki fasilitas cukup mumpuni.

Ketika keluarga tersebut merasa fasilitas yang dimiliki cukup bagus, akan ada kecenderungan untuk tidak rela jika anaknya mengalami kesulitan. Sehingga, kemampuan anak untuk bertahan dalam menghadapi tantangan dan kesulitan menjadi lebih rapuh dibanding dengan generasi sebelumnya.

Dengan kondisi yang ada saat ini, Dr. Hamidah mengajak seluruh keluarga di Indonesia untuk belajar mengelola diri dalam menghadapi tantangan dan masalah serta mengajarkannya kepada anak-anak. Sebab hal tersebut penting untuk mengantisipasi situasi kedepan.

“Orang hidup itu perlu untuk dibekali dengan pengalaman yang menyenangkan dan tidak menyenangkan agar seimbang,” tambahnya. (*)

 

Penulis : Galuh Mega Kurnia

Editor : Khefi Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).