Muatan Kritik Sosial dalam Seni Pertunjukan Ludruk

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Dr. Gancar Candra Premananto menyampaikan sambutan dalam pembukaan acara Ludruk Goes Millenial 2019. (Foto: Zanna Afia Deswari)

UNAIR NEWS – Siapa yang tak mengenal ludruk? Seni pertunjukan asli Jawa Timur ini menyajikan drama tradisional yang mengangkat cerita tentang kehidupan sehari-hari atau perjuangan rakyat Jawa Timur. Ludruk biasanya dikemas dengan dialog yang bersifat menghibur.

Selain berfungsi sebagai media hiburan, ludruk juga berfungsi sebagai pengungkapan spontanitas kehidupan masyarakat. Maka tak heran jika kemudian ludruk dinilai sebagai pagelaran yang juga memuat kritik sosial. Kritik tersebut seringkali dituangkan dalam bentuk guyonan, parikan (pantun bahasa Jawa), maupun jalan cerita di atas panggung.

Namun, seiring perkembangan waktu, eksistensi ludruk perlahan mulai tergantikan dengan munculnya berbagai acara hiburan di berbagai media. Ditambah dengan hadirnya budaya-budaya luar di Indonesia, membuat ludruk semakin asing di telinga masyarakat, khususnya anak-anak muda.

Menanggapi hal tersebut, Magister Manajemen (MM) Universitas Airlangga menghidupkan kembali budaya ludruk yang mulai meredup. Berkat inisiatif dari Koordinator Program Studi S2 MM UNAIR, Dr. Gancar Candra Premananto, S.E., M.Si, dengan menggandeng mahasiswa MM angkatan 51AP, MM UNAIR sukses menggelar pertunjukan ludruk bertajuk Ludruk Goes Millenial 2019, Minggu (28/4/2019).

“Acara ini sebetulnya adalah bagian dari mata kuliah, yaitu Etika Bisnis dan CSR (Corporate Social Responsibility. Sebenarnya ini tantangan untuk mahasiswa MM untuk bisa membuat aktifitas yang membangun kepedulian tapi dengan cara inovatif,” terang Gancar.

“Mahasiswa MM diajak untuk menjadi pemimpin yang kritis, unggul, dan punya kepedulian. Jadi tiap semester mereka membuat acara yang unik dan berbeda,” tambahnya.

Terlibat dalam dunia ludruk sejak tahun 2013, Gancar berupaya untuk menemukan inovasi baru dalam seni pertunjukan tersebut. Bersama dengan seniman ludruk Jawa Timur, Meimura, ia menggabungkan konsep ludruk dengan film. Alhasil, lahirlah pementasan Ludruk Goes Millenial : Kisah 1001 Malam di Surabaya yang disutradarainya bersama Meimura.

“Kita berusaha menjadikan ludruk ini bukan menjadi bagian dari masa lalu tapi menjadi bagian masa kini yang anak-anak muda harus tahu. Masalahnya adalah generasi muda tidak benar-benar melihat bahwa ini (ludruk, Red) punya potensi bisnis,” paparnya.

Bukan hanya itu, Gancar juga mengatakan bahwa ludruk adalah cara menyampaikan kritik dengan seni dan keindahan. Baginya, kritik tak melulu harus frontal dan berapi-api, namun juga bisa melalui karya seni.

“Ludruk itu mengajarkan, kalau mengkritik seseorang dengan keindahan, dengan kesenian. Karena Cak Durasim memunculkan ludruk adalah untuk mengkritik terhadap pemerintah Belanda. Jadi kalau anda membuat kritik terhadap pemerintah, coba lakukan dengan indah. Ludruk adalah bahasa kita untuk mengkritik dengan halus,” tuturnya. (*)

Penulis : Zanna Afia Deswari

Editor : Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).