Membangun Mentalitas yang Sehat dalam Dunia Literasi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Perkembangan buku dan literasi seringkali dikaitkan dengan hal-hal seputar minat baca. Namun, dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga, Bramantio S.S., M. Hum., memiliki pandangan yang lain. Menurutnya, bukan terletak pada minat baca, melainkan pada mentalitas yang tumbuh di kalangan masyarakat.

”Kalau kita mau melihat lebih jauh, selalu ada dua sisi. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang memang terus menggalakkan literasi dengan berbagai macam cara dan beragam bentuk aktivitas. Tapi, di sisi lain, saya melihat sebetulnya permasalahan literasi ini juga berkaitan dengan mentalitas sebagian besar masyarakat Indonesia,” ungkapnya saat ditemui di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga pada Senin (8/4/19).

Sebagai seorang pengajar, ia menemukan kecenderungan pada sejumlah mahasiswa. Pertama, terkait keengganan mahasiswa dalam membelanjakan uang untuk membeli sebuah buku. Yang kedua soal daya tahan membaca di mana terdapat perbedaan antara generasi sekarang dan generasi terdahulu. Bramantio tak menampik bahwa keberadaan peranti digital telah memberi pengaruh bagi kehidupan literasi masyarakat.

 

Segala Sesuatu Pasti Ada Akarnya          

Terkait pengaruh peranti digital terhadap kehidupan literasi masyarakat, alumnus Fakultas Sastra UNAIR itu menegaskan bahwa segala sesuatu pasti berakar dari sesuatu. Dalam pengamatannya, Bramantio melihat fenomena ponsel sebagai sarana hiburan bagi anak-anak usia dini sehingga pada akhirnya mereka terbiasa dengan audio visual.

”Anak-anak itu tidak terbiasa dengan kondisi sepi saat membaca buku. Mereka lebih kepada audio visual. Dan, saya pikir itu akan sangat berpengaruh ke depannya meski mungkin masih sekitar sepuluh tahun lagi bagi mereka untuk benar-benar menekuni aktivitas membaca,” terang penulis buku kumpulan cerpen Equilibrium tersebut.

Selain itu, kebiasaan penggunaan peranti digital secara masif justru membuat ponsel seolah menjadi bagian fisik dari seseorang. Akhirnya, waktu yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menjalani kegiatan seperti membaca buku, kemudian tersita. Tidak mudah untuk mengubah mentalitas yang telah terpupuk sejak lama.

”Gerakan membaca pada anak-anak harus dimulai pada wilayah pendidikan yang paling dasar. Bagi saya, tahapnya sudah pada ranah institusional bukan lagi pada keluarga. Karena bisa jadi anaknya sudah ada kemauan membaca, tapi orangtuanya mungkin tidak mampu secara ekonomi. Maka, sekolahlah yang bertanggung jawab menyediakan bacaan yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak,” imbuhnya.

 

Inovasi Literasi: Dari Buku Anak, Perpustakaan Berjalan, sampai Platform Digital

Saat ini inovasi literasi di Indonesia kian beragam. Sebut saja perpustakaan berjalan yang diinisiasi oleh para pemuda, gerakan membaca buku di tempat umum serta mempromosikan bacaan melalui kanal media social. Termasuk menjamurnya buku-buku dengan ilustrasi yang menarik hingga pengembangan literasi berbasis platform digital.

”Saya sempat melihat buku-buku anak dengan berbagai macam genre, ilustrasi, bentuk dan jenis kertas. Di masa saya, buku anak tidak sekaya itu. Meski dari harga relatif mahal. Buat saya, betapa menyenangkan ketika anak terpapar oleh hal-hal semacam itu. Karena, dia tidak hanya berkutat pada cerita dan kebahasaan, tapi juga visual,” ujar Bramantio.

Ilustrasi: Unsplash
Ilustrasi: Unsplash

Namun, aktivitas literasi tidak hanya berhenti pada kegiatan membaca. Untuk mengasah kemampuan di bidang kepenulisan, Bramantio menyarankan untuk memulai dari tahap yang paling sederhana. Yakni, mengulas buku-buku yang telah selesai dibaca. Masyarakat juga bisa memanfaatkan platform menulis seperti website, blog, dan wattpad.

”Ini memberikan satu medium, bagi para penulis untuk menyampaikan apapun yang mereka ingin sampaikan. Karena, memang mekanismenya tidak serumit menulis buku. Bagi saya, segala sesuatu yang memungkinkan untuk memberikan akses untuk membaca maupun menulis perlu diapresiasi,” jelasnya.

Meski begitu, mentalitas dalam bidang literasi tetap harus di bangun agar masyarakat semakin berkembang. Hal ini juga berlaku untuk mereka yang berminat menekuni bidang kepenulisan. Seorang penulis harus siap untuk menerima kritik terhadap sesuatu yang dirasa kurang dalam karya mereka. Sebab, menulis bukanlah perkara sepele.

 

Berbagai Persoalan Dalam Literasi: Penyitaan Buku dan Pelanggaran Hak Cipta

Perkembangan literasi juga tidak terlepas dari beberapa permasalahan. Pada era kebebasan berpendapat serta apresiasi dalam berkarya semakin dijunjung, kasus-kasus seperti pemberedelan buku serta pelanggaran hak cipta justru masih sering terjadi.

Dalam dunia sastra Indonesia –bidang yang saat ini digeluti Bramantio– kasus pemberedelan buku yang paling kentara adalah pada buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Karya penulis yang pernah menghabiskan hidupnya dalam tahanan di Pulau Buru itu dianggap berbahaya oleh salah satu institusi negara karena diyakini akan memberikan dampak negatif.

”Saya khawatir, pemberedelan buku oleh oknum-oknum tertentu itu terjadi karena mereka diperintahkan. Tetapi, tidak betul-betul memahami dan membaca isi buku Pram. Hal semacam ini sebetulnya kembali pada mentalitas. Kita cenderung menghakimi sesuatu yang tidak kita ketahui. Padahal, kalau kita mau baca buku Pram, nggak ada yang negatif,” sebutnya.

Menurut Bramantio, melalui buku-buku Pram, masyarakat dapat melihat potret dan pemikiran generasi lawas dalam melihat diri mereka sebagai manusia maupun sebuah bangsa. Sangat mengherankan bila ada pelarangan terhadap buku-buku semacam itu.

Terkait pelanggaran hak cipta, ia mengatakan bahwa sejauh ini terkait pada pengutipan. Apresiasi karya baik dalam dunia akademik maupun dalam industri buku secara umum sudah sepatutnya menjadi tanggung jawab dan kesadaran bersama.

”Mau tidak mau, saat kita menggunakannya dalam bentuk apapun tetap perlu menyertakan siapa penulisnya. Karena bagi itu merupakan sebuah apresiasi. Ingat, tidak sedikit kasus terkait plagiasi yang kemudian harus diselesaikan dengan pengadilan,” ucapnya.

 

Membiasakan Diri untuk Konsisten Membaca

Bagi sebagian orang, konsisten untuk membaca buku adalah hal yang cukup sulit untuk dilakukan. Membaca tidak bisa dipaksakan. Namun, alangkah baiknya dilatih sejak kanak-kanak. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk membuat seseorang jatuh cinta pada buku. Seperti reading challenge dengan jumlah buku yang minimal terlebih dahulu.

”Kalau saya buat perhitungan kasar per tahun 100 buku bukanlah sesuatu yang sulit. Dalam seminggu, kita dapat menghabiskan minimal dua buku. Coba deh perhatikan, betapa membahagiakan sekali ketika dalam waktu sekian tahun kita dapat menghabiskan ratusan, bahkan ribuan buku,” pesannya. (*)

Penulis: Nabila Amelia

Editor: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).