Ketahanan Pangan Indonesia Terbentur Minimnya Penjamin Mutu

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – Terdapat sejumlah problem terkait pemenuhan ketahanan pangan bagi Indonesia. Menurut Prof. R. Bambang W, dr., MS., MCN., Ph.D., SpGK., selaku guru besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga, salah satu masalah itu adalah minimnya sumber daya penjamin mutu pangan hingga di tingkat lokal.

Berdasar UU No 18/2012, sebut Prof Bambang, poin penting ketahanan pangan Indonesia terletak pada pemenuhan dalam lingkup jumlah dan mutu. Artinya, ketahanan itu bukan hanya sebatas pada terpenuhinya secara kuantitas atau jumlah. Melainkan juga secara kualitas atau mutunya benar-benar baik bagi tubuh.

Prof. Bambang mengakui bahwa secara angka, indeks ketahanan nasional dari tahun ke tahun memang terus meningkat. Bersumber data The Economist Intellegence Unit, angka indeksnya mencapai 54,8 pada 2018. Angkanya naik dari tahun 2016 dan 2017, yaitu pada angka 50,6 dan 51,3.

”Meski demikian, sejumlah problem pemenuhan ketahanan pangan dari segi mutu, khususnya bagi mereka yang berpenghasilan rendah, terus ada,” ujar Prof Bambang Diskusi Pakar UNAIR di Aula Amerta Lantai 4 Kampus C pada Selasa (23/4/2019).

Ketersediaan pangan dalam lingkup lokal di Indonesia seharusnya turut dibarengi dengan pengawasan yang setara. Bukan berarti, peran dan kehadiran pemerintah dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan itu tidak ada.

Pemerintah melalui BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), ungkap Prof Bambang, telah melakukan sejumlah langkah. Meski demikian, dibandingkan dengan ketersedian pangan yang bervariatif, perbandingannya tidak seimbang. Diperlukan komitmen bersama dalam memenuhi kebutuhan mutu dalam konteks ketahanan pangan.

”Iya, ada BPOM. Namun, dibandingkan luas wilayahnya dan jangkauannya tidak setara,” sebutnya.

Menurut Prof. Bambang, proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein di daerah perdesaan masih relatif tinggi. Khususnya pada rumah tangga berpendapatan rendah. Proporsi rumah tangga defisit energi maupun protein lebih tinggi di Jawa daripada di luar Jawa, lebih tinggi pada rumah tangga pertanian daripada rumah tangga nonpertanian.

”Karena itu, ketahanan pangan mesti disokong oleh makanan-makanan yang aman. Yang tidak tercemar beragam racun atau zat-zat yang berbahaya,” katanya.

Menyelesaikan minimnya penjamin mutu itu, masyarakat didorong untuk aktif dari diri sendiri mengonsumsi makanan yang baik. Sikap kehati-hatian dan tidak asal perlu dtumbuhkan dalam diri masyarakat.

Prof Bambang menilai tips empat sehat lima sempurna perlu diubah. Jadi, Prof Bambang mengimbau masayarakat mengonsumsi makanan dengan konsep B2SAH. Yakni, mengonsumsi makanan yang beragam, bergizi, seimbang, aman, dan halal menurut agama dan kepercayaan masing-masing. (*)

 

Penulis: Feri Fenoria Rifa’I

 

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).