R.A. Kartini : Aku Bukan Feminis Ekstrim

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
(Ilustrasi oleh Jakarta.tribunnews.com)

UNAIR NEWS – Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau R.A. Kartini kerap disebut sebagai simbolis aliran feminisme-liberalis di Indonesia. Kartini senantiasa diagungkan sebagai pejuang wanita yang berani melawan ketimpangan gender. Di mana hak laki-laki di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda lebih diutamakan ketimbangan hak perempuan kala itu.

Sosok Kartini tergambar sebagai wanita tangguh yang tak kenal takut mengutarakan ketidakadilan. Nama Kartini dikenal luas berkat beredarnya isi curahan hati Kartini lewat surat-surat yang ia tulis untuk temannya di khalayak umum. Surat tersebut mengindikasikan duka Kartini yang begitu dalam lantaran hak perempuan yang tidak pernah terpenuhi. Perempuan selalu mengalami penindasan baik secara fisik maupun emosional.

Buku Habis Terang Terbitlah Terang sendiri merupakan kumpulan surat-surat yang telah Kartini tulis sebelumnya. Diketahui dari kolom dalam jejakislam.net karya Tiar Anwar Bachtiar bertajuk “Kartini dan Pintu Masuk Feminisme di Indonesia” menyebutkan bahwa seorang Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda bernama Mr. J.H. Abendanon menjadi dalang diballik suksesnya buku tersebut.

Ia berjasa mengkompilasikan seluruh surat-surat Kartini dan menerbitkannya 7 tahun setelah kematian Kartini. Sejak saat itu paham feminisme mulai melekat dalam diri Kartini. Diketahui pemikiran feminisme berciri liberalis didapat oleh Kartini akibat pengaruh dari sekolah yang ia tempa dan teman-teman Belandanya. Kartini disebut sering mengonsumsi buku-buku dengan paham liberal, hal itu semakin memperkuat keyakinannya bahwa Indonesia mengalami kesenjangan akan ketidaksetaraan gender.

Mengetahui persepsi masyarakat di era sekarang, banyak yang tidak menyadari bahwa Kartini tidak benar-benar menganut paham feminis. Feminisme ala Kartini sesungguhnya hanya ada sebatas dalam angan dan bentuk keprihatinan semata. Ia tidak pernah berniat menjadi aktivis yang menyuarakan paham feminis kepada para khalayak.

Diceritakan pula, meski Kartini melek akan kesetaraan gender, pada akhirnya ia mau untuk dipoligami dan bereformasi menjadi perempuan jawa pada umumnya. Kartini juga sempat memiliki keturunan dari hasil pernikahannya dengan bangsawan jawa, Raden Adipati Joyodiningrat yang kala itu menjabat sebagai Bupati Jepara.

Kartini menjelaskan dalam surat yang ia tulis kepada kawannya bahwa dirinya sama sekali tidak merasa tertindas. Ia baik-baik saja dalam menerima kehidupan sebagai istri keempat bupati Jepara. Kartini juga mengikuti alur budaya Jawa yang sudah melekat dalam dirinya. Berikut isi kutipan surat Kartini:

“Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betul-betul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkandi situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…” (Surat-Surat Kartini, hal. 348).

Penulis: Tunjung Senja Widuri

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).