Hadir di INA-TIME 2019, Menteri Kesehatan : Tuberculosis Tidak Bisa Diatasi oleh Sektor Kesehatan Saja

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
PROF. Dr. dr. Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, SpM (K), Menteri Kesehatan Republik Indonesia ketika sambutan di International Tuberculosis Meeting (INA-TIME) 2019. (Foto: Ulfah Mu’amarotul Hikmah)

UNAIR NEWS –  Prof. Dr. dr. Nila Djuwita Faried Anfasa Moeloek, SpM (K), Menteri Kesehatan Republik Indonesia turut hadir pada pembukaan kegiatan Indonesian pada Sabtu (6/4/2019) yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) bekerjasama dengan Rumah Sakit dr. Soetomo, Fakultas Kedokteran (FK), Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR). Dalam sambutannya, Prof Nila menggaris bawahi beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan tingginya kasus Tuberculosis (TB) di Indonesia.

“Indonesia memiliki permasalahan TB yang cukup besar. Untuk itu perlu kita pikirkan dan lakukan bersama bagaimana cara untuk membuat kasus TB turun. Bagaimana kita bisa eliminasi TB sampai ke dasar, sampai ke masyarakat,” ucap Prof Nila.

Menurut Prof Nila, untuk mengatasi masalah TB tidak hanya bisa dilakukan oleh sektor kesehatan. Namun membutuhkan kerjasama lintas sektor, peneliti dan dukungan dari masyarakat.

Penelitian dan pengembangan

Indonesia menduduki peringkat ketiga penyumbang TB tertinggi di dunia. Menurut data yang diterima oleh Prof Nila, estimasi jumlah kasus TB di Indonesia mencapai sekitar 842.000 kasus.

Terlebih, jumlah kasus TB anak yang kurang lebih mencapai angka 52.929 juga membuat Prof Nila mempertanyakan keefektifan vaksin BCG yang selama ini diberikan kepada anak-anak dan masyarakat Indonesia.

“Inilah mohon kiranya dijawab oleh peneliti, bagaimana dengan vaksin BCG yang kita dapatkan dulu? Apakah efektif? Kenapa masih ada yang terkena?,” ujarnya.

Selain itu, Indonesia juga menghadapi kasus TB resisten rifampisin (TB RO) atau Multi Drug Resistant (MDR). Yaitu suatu kondisi dimana seseorang kebal atau resisten terhadap dua obat paling kuat yaitu isoniazid dan rifampisin.

Penderita TB RO harus melakukan suntik dan minum sekitar enam jenis obat minimal selama sembilan hingga dua puluh bulan. Efek samping yang diterima oleh penderita juga lebih berat. Untuk itu, Prof Nila berharap terdapat suatu hasil penelitian yang bisa membuat pasien TB RO tidak perlu disuntik dan masa pengobatan tidak perlu sampai begitu lama.

Dukungan lintas sektor

Tingginya kasus TB regular, TB RO, TB anak, TB HIV serta masih adanya missing disease perlu mendapat dukungan dari sektor lain yang terkait. Di bidang pendidikan misalnya, untuk memberikan pengetahuan, menyadarkan masyarakat terkait kesehatan khususnya tentang TB sejak di bangku sekolah, sektor kesehatan perlu mendapat dukungan dari kementerian pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud).

Selain itu, kondisi geografis dan sosial budaya juga menjadi hambatan bagi tenaga kesehatan untuk bisa memberikan imunisasi dan mengobati pasien. Sehingga perlu dukungan dari sektor lain untuk pembangunan dan pemerataan infrastruktur serta pendekatan kepada masyarakat agar bisa menerima kedatangan tenaga kesehatan dan juga mau berobat di wilayahnya.

“Kita perlu memberikan pengetahuan kepada masyarakat, menyadarkan mereka tentang kesehatan sehingga penting bagi kita untuk mendapatkan dukungan dari kementerian lain,” tambahnya.

Dukungan masyarakat

Ketika berupaya untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat, maka upaya tersebut harus didukung oleh masyarakat juga agar upaya tersebut berhasil. Pemerintah Indonesia sudah memiliki program Gerakan Masyarakat Sehat (GERMAS).

Menurut Prof Nila sudah banyak pihak yang mengetahui program tersebut, namun masih banyak masyarakat yang belum tahu. Sehingga dilakukan program Indonesia sehat dengan pendekatan keluarga, termasuk dalam mengatasi permasalah TB.

“Ketika kita temukan satu pasien TB, kita lihat juga keluarganya, lingkaran sosialnya, untuk melihat apa ada yang tertular juga,” tegasnya.

Untuk itu, Prof Nila mengusulkan agar dibuat suatu wadah yang mengkoordinir semua hal tersebut dan menjadikannya suatu gerakan. Tidak hanya melakukan penelitian namun juga implementasi yang nyata untuk mengatasi permasalahan TB di Indonesia.

“Mari kita berpikir secara komprehensif. Tidak hanya kuratif tapi juga mulai upaya promotif dan preventif. Ayo hidup sehat. Dan sehat kita mulai dari diri kita sendiri,” pungkasnya. (*)

 

Penulis : Galuh Mega Kurnia

Editor : Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).