Durasi Fase Kuratif Jadi Kendala Utama Masalah Resisten Tuberkulosis Tak Kunjung Tuntas

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Dr. Soedarsono dr., Sp.P.(K) saat memaparkan materi bertajuk Progress and Advances in Development of New Drugs and treatment Regimens untuk penderita TB (Foto: Ulfah Mu’amarotul Hikmah)

UNAIR NEWS – Belakangan ini kasus Multidrug Resistant/MDR-Tuberculosis (TB) di Indonesia marak sekali diperbincangkan. Pemusatan perhatian tersebut terjadi karena adanya peningkatan jumlah penderita MDR-Tb. Resistensi Tuberkulosis (TB) sejatinya disebabkan oleh ulah manusia yang melakukan pengobatan tidak sesuai prosedur, baik dari segi regimen, dosis atau pengobatan tidak tuntas.

Sebelumnya, kasus Resisten TB di Indonesia menempati posisi ke-9 dunia. Dalam rentang beberapa tahun terus mengalami peningkatan, data terakhir menyebutkan Indonesia telah naik level ke posisi ke-7 dunia. Sehingga perlu dipertanyakan kembali penyebab penderita resisten TB mengalami peningkatan setiap tahunnya.

Dr. Soedarsono dr., Sp.P.(K) dalam gelaran simposium berjudul “Indonesian Tuberculosis International Meeting 2019” beberapa waktu lalu menjelaskan penanganan kasus resisten TB hendaknya ditangani secara cermat. Hal itu mengingat tingkat persentase kesembuhan penyakit lebih rendah daripada mortalitas.

Ia melanjutkan kendala utama permasalahan resisten TB terletak pada durasi pengobatan pasien yang terbilang cukup lama, berkisar antara 18-20 bulan. Pada tahap pengobatan pasien diwajibkan rutin melakukan pegobatan hampir setiap hari. Ditambah pengobatan pasien tidak hanya dalam bentuk oral melainkan suntik. Alhasil banyak pasien TB yang drop out dari fase pengobatan sebelum waktunya.

“Bisa dibayangkan dampak kondisi psikis pasien kala hidupnya sehari-hari tergantung pada obat. Belum lagi adanya side effect dari penggunaan obat. Sebab pada beberapa kasus menimbulkan alergi,” tambahnya.

Selain itu, lanjutnya, masalah internal turut menyumbang kasus drop outnya pasien TB. Kompleksitas masalah dimulai dari ekonomi, sosial, bahkan pendidikan pasien. Banyak pasien TB tidak mendapat dukungan dari lingkungan sekiranya sehingga akan mengakibatkan pasien kehilangan harapan untuk sembuh.

Staff pengajar Fakultas Kedokteran UNAIR turut berujar, menurutnya peran bidang kesehatan saja tidak cukup untuk menuntaskan masalah tersebut. Perlu kerjasama lintas sektoral dari berbagai bidang, seperti ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Agar pengobatan resisten TB dapat terkendali.

“Dewasa ini diterapkan regulasi khusus bagi pasien resisten TB, yakni mewajibkan mereka untuk datang langsung ke layanan kesehatan. Konsumsi obat harus berada dalam pengawasan praktisi kesehatan untuk mengurangi risiko pasien yang tidak rutin meminum obat,” imbuh Dr. Soedarsono

Riset terus dilakukan untuk menemukan metode pengobatan yang efektif memerangi kasus itu. Ahli TBC dari RSUD Dr. Soetomo itu memaparkan baru-baru ini telah ditemukan regimen untuk pasien resisten TB dengan durasi pengobatan pendek yakni antara 9-11 bulan.

Selanjutnya akan segera dicanangkan pula pengobatan oral tanpa suntik secara menyeluruh kepada pasien. Kombinasi obat yang sudah terkomposisi harapannya akan menjanjikan kesembuhan pasien. Serta kasus drop out pasien tidak terulang kembali.

Penulis: Tunjung Senja Widuri

Editor: Khefti Al Mawalia

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).