Pakar Politik UNAIR Ajak Anak Muda Pantau Bersama Pemilu 2019

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
DARI kiri, Dr Suko Widodo dan Agnes Santoso dalam diskusi bertajuk Pantau Pemilu pada Jum’at (8/2/2019). (Foto: Khefti Al Mawalia)
DARI kiri, Dr Suko Widodo dan Agnes Santoso dalam diskusi bertajuk Pantau Pemilu pada Jum’at (8/2/2019). (Foto: Khefti Al Mawalia)

UNAIR NEWS ­Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, isu politik menjadi semakin menarik dan hangat untuk diperbincangkan. Utamanya bagi kaum akademisi dan masyarakat dalam menilai dan menentukan calon pemimpinnya.

Sejumlah pemuda di Surabaya hadir menjadi saksi diluncurkannya aplikasi Pantau Bersama 2019 yang bertepatan dengan semaraknya Hari Pers Nasional di Surabaya pada Jum’at (8/2/2019). Pantau bersama merupakan wadah digital bagi anak muda dalam membangun partisipasi aktif masyarakat akan teknologi yang demokratis. Gerakan itu diinisiasi oleh Sabrang Mowo Damar Panuluh dengan mengajak anak muda bergotong royong untuk peduli terhadap isu-isu yang dibawa kontestan pemilu.

Sementara itu, Dr. Suko Widodo, Drs., M.Si selaku pakar komunikasi politik Universitas Airlangga mengungkapkan bahwa guyup rukun demokrasi mengajarkan masyarakat untuk bergotong royong dalam memantau calon pemimpinnya. Hal tersebut menjadi suatu terobosan baru yang dibuat untuk para generasi milenial dalam memilih pemimpin atas dasar rasionalitas dan logika.

”Media sosial punya andil dalam menentukan hak suara kita di pemilu mendatang,” tambahnya.

Kegiatan itu juga dihadiri oleh akademisi dari UNAIR. Di antaranya, Dr. Santi Isnaini, S. Sos., MM, dan Dr. Suparto Wijoyo, SH., M. Hum. Antusiasme masyarakat dan para akademisi tersebut juga terlihat ketika dibukanya sesi tanya jawab.

”Saya sangat mengapresiasi acara ini. Suksesnya acara ini adalah bukti bahwa anak muda rindu akan euphoria dan pesta demokrasi dalam pemilu,” tambah Dr. Suparto.

Bukan hanya itu, adanya permasalahan yang kerap terjadi bagi sebagian masyarakat ialah memilih calon tanpa memiliki parameter yang jelas. Masyarakat lebih menyukai hal yang berbau pragmatis dari pada rasionalitasnya.

Permasalahan itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Fenomena pragmatisme tersebut terjadi karena tingkat literasi politik masyarakat yang rendah dan masifnya politik tuna ide.

Tersebarnya informasi di media sosial membuat masyarakat menjadi semakin kesulitan dalam menganalisis hoaks, disinformasi, dan pemelintiran isu suara yang mengganggu di ruang publik. Suara-suara masyarakat yang tulus tersebar di media social malah justru tertimbun oleh gangguan suara lainnya.

Karena itu, dibutuhkan kanal informasi alternatif untuk menampung seluruh aspirasi anak muda yang bersifat tanya jawab. Tujuannya, agar pelaku media sosial itu menjadi semakin tahu akan program dan visi misi para calon kandidat yang ada.

Lanjut Suko, adanya gerakan ini Indonesia diharapkan akan melahirkan wajah pemimpin baru masa depan, berkualitas, dan dapat langsung dipertimbangkan oleh masyarakat. Peran tersebut harus diambil oleh anak muda dalam mengisi masa depan. Survei membuktikan bahwa 80 dari 100 juta anak muda adalah sumber kekuatan utama dalam pemilu. (*)

 

Penulis: Khefti Al Mawalia

Editor: Feri Fenoria

Berita Terkait

Achmad Chasina Aula

Achmad Chasina Aula

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi