Karni Ilyas: Tugas Pers Serupa dengan Hewan Penjaga

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin

UNAIR NEWS – ”Pemirsa, kita ketemu lagi dalam ILC bertema.. temanya apa ya..” ucapnya, lantas diikuti tepuk tangan seluruh peserta yang hadir yang mayoritas adalah para mahasiswa. Kata-kata pembuka yang khas dan sering muncul menghiasi layar kaca TV One dalam program ILC (Indonesia Lawyers Club) itu membuat semarak acara bertajuk Expert Sharing pada Jum’at siang (8/2/2019). Tepatnya sebagai bagian rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2019 yang berlangsung di Aula Garuda Mukti, Kampus C UNAIR.

Ya, adalah Karni Ilyas yang hadir sekaligus menyampaikan kata-kata pembukanya yang khas itu. Ia merupakan salah seorang jurnalis senior yang sudah lama malang melintang di dunia jurnalistik Indonesia. Kali ini laki-laki yang biasa disapa Bang Karni tersebut hadir untuk memberikan paparannya terkait dengan dunia pers saat ini.

”Tugas pers adalah anjing penjaga,” sebutnya.

Paparan mengenai tugas sebagai pers mengawali penjelasan Karni kepada sebanyak 500 peserta yang hadir. Jika menilik sebenarnya bagaimana tugas pers dalam sebuah tatanan sosial, Karni menyebutnya perannya serupa anjing penjaga.

Jika diartikan secara mendalam, lanjut dia, anjing penjaga adalah anjing yang galak. Suara gonggongannya bakal terdengar nyaring dan keras ketika muncul sesuatu fenomena yang mencurigakan. Fenomena yang mungkin mengancam rumah tuannya, sekaligus tuannya.

”Anjing galak dan tugasnya menjaga rumah tuannya dan tuannya juga,” ujarnya.

Pers pun, ungkap Karni, memiliki tugas yang kurang lebih sama. Pers harus sangat responsif terhadap fenomena-fenomena yang ”mencurigakan” dalam tatanan sosial. Pers juga memiliki tanggung jawab menjaga rumah tuannya dalam arti yang lebih luas, negara, serta tuannya, yaitu pemerintahan dan masyarakatnya. Pers memiliki tugas menyuarakan keganjilan dan keanehan.

Sama halnya anjing, setiap hal aneh atau mencurigakan menjadi sasaran pers untuk disuarakan. Meski, setiap kecurigaan terhadap fenomena-fenomena itu belum tentu memiliki bobot kebenaran yang dapat dibuktikan. Namun, hal itu, lanjut Karni, menjadi salah satu isyarat sekaligus bahan evaluasi atau kontrol terhadap realitas yang terjadi.

”Dia akan menggonggong ketika ada yang mencurigakan. Jadi, anjing penjaga itu tidak selalu benar. Anjing itu selalu mengonggong karena ada hal ganjil. Karena ada tikus yang lari-lari, misalnya. Pers tidak selalu benar,” katanya.

Menggongong dalam pers tersebut, sebut Karni, dimaknai sebagai sikap kritis. Baik terkait dengan wacana yang beredar dari dari lembaga survei, maupun dari masyarakt itu sendiri.

”Inilah tugas media memberitakannya (isu yang beredar, Red)” tuturnya.

Lantas, bagaimana dengan kebebasannya? Karni menyampaikan bahwa pada dasarnya pers juga memiliki hak koreksi, meralat. Baik yang menyangkut pada orang lain, maupun institusi dan organisasi. Pers turut memiliki tanggung jawab memberikan kesempatan hak jawab atau koreksi terhadap yang diberitakan.

Semua media, lanjut dia, harus berpihak pada semua kelompok dan golongan. Media tidak boleh memilih pada satu golongan, suku, partai, atau personal. Kecuali dalam kasus ketidakadilan dan kemanusiaan.

”Media harus selalu bebas. Tapi, media memang disokong oleh manusia. Yang pada dasarnya, manusia memiliki kecenderungan memihak,” katanya.

”Namun, dalam produk, pers harus mewakili keduanya. Memberikan opsi kesempatan yang sama. Dan, tidak boleh mengada-ngada,” imbuhnya. (*)

 

Penulis: Feri Fenoria Rifa’i

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).