Upaya Preventif Kusta Jadi Tantangan Ilmuwan Wujudkan Kesejahteraan

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
PROF Dr Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr., Sp.KK(K), FINDV., FAADV., saat menyampaikan paparan dalam Pengukuhan Guru Besar di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen, Lantai 5. (Foto: Bambang Bes)
PROF Dr Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr., Sp.KK(K), FINDV., FAADV., saat menyampaikan paparan dalam Pengukuhan Guru Besar di Aula Garuda Mukti, Kantor Manajemen, Lantai 5. (Foto: Bambang Bes)

UNAIR NEWS – Berdasar data PubMed, laman penyedia penelitian kesehatan internasional, ilmuwan bidang kusta lebih banyak berkonsentrasi pada arah kuratif (penyembuhan) dan diagnositik (memprediksi penyakit). Di sisi lain, aspek preventif dan promotif (pencegahan) justru kurang menjadi fokus penelitian para ilmuwan.

Perinciannya, proporsi jumlah publikasi dari penelitian kusta mencapai 46 persen untuk bidang kuratif dan 39 persen untuk diagnostik. Selanjutnya, hanya berkisar 12 persen untuk preventif, 3 persen rehabilitatif, dan 0 persen untuk promotif.

Padahal, berdasar data WHO (World Health Organization) sampai pada 2017, meski tren penderita kasus kusta menurun, jumlah penderitanya di dunia masih mencapai 12,189 juta. Di Indonesia, angka penderitanya mencapai 1,116 juta dan 6.513 juta untuk penderita di Asia Tengara.

Prof Dr Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr., Sp.KK(K), FINDV., FAADV., dalam pengukuhan guru besarnya menyampaikan problem tersebut sebagai tantangan bagi ilmuwan. Terutama terkait upaya mengatasi kusta dengan meminimalkan adanya pasien-pasien baru.

”Kusta sangat identik dengan ketidaksejahteraan. Pada kusta didapatkan kecacatan dan stigma yang membuat penderita kusta merasa terkucil, dijauhi, dan merasa dibedakan dari masyarakat umumnya,” ujarnya.

Sayang, lanjut Prof Cita, sains yang berkembang pesat belum mampu menurunkan jumlah pasien baru kusta secara signifikan. Artinya, ilmu pengetahuan yang tersedia saat ini hanya ”mampu meningkatkan” jumlah pasien kusta yang berhasil disembuhkan. Di sisi lain, hal itu tidak mampu menghentikan ”terciptanya” pasien baru.

 

Stigma Negatif Kusta

Mengutip Arole, Prof Cita menyampaikan bahwa persepsi stigma dan pengalaman diskriminasi mengakibatkan orang merasa malu dan membuat mereka mengucilkan diri dari masyarakat. Akibatnya, stereotipe bahwa kusta adalah sesuatu yang memalukan untuk disembunyikan tetap muncul.

”Sebuah penelitian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa sepertiga pasien kusta ditinggalkan oleh pasangannya,” ujarnya.

”Sementara di Indonesia, berdasar penelitian, stigma itu mengakibatkan penderita malu, dalam masalah mencari pasangan, dan pekerjaan yang bergaji tinggi,” imbuhnya.

Selain gangguan fisik, lanjut dia, stigma kusta memiliki dampak besar pada kehidupan banyak orang. Tepatnya mempengaruhi kesejahteraan fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi penderita.

Sayang, stigma negatif kusta yang sangat kuat di masyarakat mengakibatkan masyarakat di daerah endemis terancam tidak mendapat pelayanan kesehatan preventif dan promotif yang baik.

”Mereka (penderita, Red) cenderung menjauhi pelayanan kesehatan karena merasa malu, berbeda, dan menjadi perhatian orang,” ujarnya.

”Bisa jadi petugas kesehatan jarang berkunjung karena takut tertular kusta,” tambahnya.

Jadi, masyarakat memerlukan metode komprehensif dalam mengatasi disregulasi kekebalan. Khususnya di daerah endemis kusta sejak awal kehidupan.

”Sudah cukupkah produk riset tersebut? Belum,” tegasnya.

 

Academic Health System (AHS)

Karena itu, ”mencukupi” produk riset yang bermutu terkait dengan implementasi metode komprehensif itu harus ada sistem. Terutama yang memadukan aktivitas penelitian dan yang lain seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, serta pemerintah.

Prof Cita menyampaikan, saat ini Kemenristekdikti dan Kemenkes sudah merintis keterpaduan aktivitas tersebut dalam Academic Health System (AHS). Melalui AHS, sinergi antara universitas dan berbagai penyedia layanan kesehatan dapat dilakukan.

”Kelemahan Puskesmas dalam inovasi program dapat diatasi dengan kolaborasi bersama universitas. Termasuk kebalikannya, kelemahan Universitas dalam menjangkau daerah endemis,” tuturnya.

”Termasuk dalam kelemahan Puskesmas dan universitas dalam ketersediaan dokter ahli dan riset kusta dapat diatasi dengan kolaborasi bersama rumah sakit,” imbuhnya.

Menurut Prof Cita, dalam langkah bersama ke depan, metode komprehensif lintas sektor Academic Health System (AHS) dalam penanganan kusta diharapkan dapat bergerak sinergi menYejahterakan umat manusia. Khususnya untuk menghalau kecacatan dan stigma. Termasuk menjanjikan seluruh wilayah Indonesia bebas kusta. (*)

 

Penulis: Feri Fenoria

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).