Ingin Jadi Relawan? Berikut Hal yang Perlu Diperhatikan!

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Hamzah Yasfi Akbar Solihin ketika bertugas di Pandeglang pada Selasa (25/12) hingga Sabtu (29/12). (Dok. Pribadi)

UNAIR NEWS – Ibu pertiwi sedang berduka. Runtutan peristiwa bencana alam yang terjadi memakan begitu banyak korban jiwa. Sebagai agent of change, gerakan kemanusiaan banyak dilakukan oleh mahasiswa untuk membatu meringankan beban korban bencana.

Tidak hanya dengan mengumpulkan donasi, namun juga ikut terjun langsung ke lokasi terdampak untuk menjadi relawan. Salah satunya adalah diadakannya open recruitment relawan UNAIR untuk terjun ke lokasi terdampak bencana tsunami Selat Sunda.

UNAIR NEWS berhasil menghubungi Dr. Atik Choirul Hidajah dr., M.Kes, ketua Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (UNAIR) untuk berbagi ilmu terkait dunia kerelawanan. Tidak  hanya Atik, UNAIR NEWS juga berhasil menghubungi Hamzah Yasfi Akbar Sholihin atau Hamzah, mahasiswa FKM UNAIR sekaligus anggota Korps Sukarela (KSR) PMI Kota Bogor sejak bulan September 2015.

Hamzah juga menjadi relawan PMI yang mendapat penugasan ke Pandeglang, sejak tanggal 25-29 Desember 2018 lalu.

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan untuk Menjadi Relawan

Menurut dokter Atik, setidaknya terdapat lima hal yang perlu untuk diperhatikan oleh relawan ketika memutuskan untuk terjun ke lokasi bencana. Yang pertama adalah waktu atau di fase apa relawan akan ke lokasi. Apakah relawan datang ke lokasi pada fase tanggap darurat atau ketika recovery.

“Jika tim datang ke lokasi pada fase recovery, maka aktivitas-aktivitas yang dilakukan nantinya juga harus sesuai seperti pengadaan trauma healing atau perbaikan dan pengadaan sanitasi,” jelas Atik.

Kemudian, kompetensi. Terkait dengan kompetensi yang perlu untuk dimiliki oleh relawan, Atik mengacu pada Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) No. 17 tahun 2011 tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana.

Dalam dokumen tersebut, setidaknya terdapat sepuluh kompetensi yang perlu untuk dimiliki oleh relawan. Yaitu pencarian dan penyelamatan, dapur umum, logistik, informasi dan komunikasi, manajemen tempat evakuasi, pengelolaan air, sanitasi dan kesehatan lingkungan, kesehatan pengungsi, penanganan psikososial, standar minimum dalam penanggulangan bencana, serta pengurangan risiko bencana.

“Mahasiswa yang akan terjun ke lokasi bencana setidaknya perlu untuk miliki beberapa dari kompetensi tersebut,” ucapnya.

Tidak hanya itu, relawan juga perlu untuk mengetahui penyakit endemis yang ada di lokasi. Sebagai contoh bencana gempa di Lombok pada 29 Juli lalu, ditemukan beberapa wilayah yang terdampak malaria. Sehingga, orang dari luar daerah yang datang ke lokasi tersebut harus meminum obat profilaksis (pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit, Red) terlebih dahulu.

“Tindakan pencegahan atau profilaksis itu sendiri tidak hanya dengan meminum obat. Dapat dengan tindakan teknis lainnya disesuaikan dengan endemisitas penyakit yang ada,” ucap Atik.

Selanjutnya adalah mengenali karakter atau budaya setempat. Menurut Atik, hal tersebut berguna untuk merancang program dengan pendekatan yang sesuai dengan masyarakat setempat. Dengan bagitu, program dapat berjalan dengan baik dan memperbesar kemungkinan untuk sukses.

Kelima, menjaga tubuh tetap sehat. Relawan datang ke lokasi untuk membantu korban bencana dan relawan lainnya. Karena itu, relawan harus tetap sehat sehingga tidak menjadi beban untuk relawan lainnya.

“Semua orang di sana nanti harus berkonsentrasi untuk melakukan sesuatu yang dapat membantu masyarakat terdampak. Jangan sampai mereka malah kerepotan untuk mengurus kita juga,” tambahnya.

Untuk itu, relawan perlu untuk memperhatikan waktu istirahatnya. Memakan makanan yang bergizi jika memungkinkan atau minum vitamin jika diperlukan. Selain itu, relawan juga perlu untuk membawa obat pribadi mereka.

Tidak berbeda jauh dengan Atik. Berdasarkan pengalamannya, Hamzah menjelaskan bahwa untuk menjadi relawan, seseorang perlu untuk memperhatikan banyak hal. Di antaranya adalah kesehatan pribadi, izin dari orang tua, kesiapan fisik dan mental, surat tugas, persiapan logistik, dan lain sebagainya.

“Relawan juga harus mau mengabdi tanpa pamrih, siap lelah, siap bekerja meski tanpa apresiasi,” ucap Hamzah.

Hamzah Yasfi Akbar Solihin ketika bertugas di Pandeglang pada Selasa (25/12) hingga Sabtu (29/12). (Dok. Pribadi)

Berada di Lokasi yang Berpotensi Bencana Susulan

Ketika relawan berada di lokasi yang berpotensi untuk terjadi bencana susulan, maka sebelumnya relawan harus mampu untuk mengetahui tanda-tandanya. Contohnya adalah daerah Selat Sunda yang berpotensi terjadi tsunami susulan akibat aktivitas vulkanik gunung Krakatau.

“Ketika berada di lokasi tersebut, maka relawan perlu untuk mengetahui tanda-tanda datangnya tsunami. Terlebih, bencana yang terjadi di Banten dan Lampung tersebut terjadi di luar perkiraan,” jelas Atik.

Selain mengetahui tanda-tandanya, relawan juga harus memahami cara untuk dapat menyelamatkan diri ketika terjadi bencana. Pada kondisi tsunami misalnya, ketika relawan masih dapat berlari ke tempat tinggi, maka lari ke tempat tinggi. Jika tidak memungkinkan, relawan bisa mencari papan atau benda yang dapat mengambang, dan sebagainya.

“Relawan juga perlu untuk memahami teknik atau cara untuk menyelamatkan diri ketika terjadi bencana,” terang Atik.

Sifat dan Karakter

Sebagai seorang yang akan terjun ke medan bencana, relawan perlu untuk memiliki banyak sifat-sifat positif. Terutama adalah ketangguhan. Menurut Atik, seorang relawan harus tangguh. Karena medan yang akan dihadapi oleh relawan nanti akan sangat berat. Jika jiwanya tidak tangguh untuk bisa berada di lingkungan terdampak bencana, bagaimana seorang relawan dapat memberi pertolongan.

“Tidak main-main bekerja di daerah bencana. Perlu untuk mempunyai orang-orang yang siap baik fisik maupun mental. Suka menolong, empati, dan hal-hal baik lainnya,” terangnya.

Berdasarkan pengalaman yang dialami oleh Hamzah ketika ditugaskan di Pandeglang, banyak hal yang menarik dan miris terjadi. Salah satunya adalah ketika Hamzah bertemu dengan pengungsi yang sedang membutuhkan layanan kesehatan.

“Saya banyak menjumpai warga yang patah tulang tetapi tidak mau dirujuk dan banyak juga warga yang tekanan darahnya 140 hingga 200 dan yang mereka rasakan hanya pusing biasa,” ucap Hamzah.

Pengalaman tersebut lebih membuka mata Hamzah. Yaitu ketika di lokasi bencana dirinya bisa melihat semua aspek yang ada di masyarakat. Utamanya adalah gotong royong, saling bahu-membahu agar daerah tersebut bangkit.

Untuk teman-teman yang akan pergi mengabdi menjadi relawan, Hamzah berpesan agar tetap semangat mengabdi, meniatkan apa yang dilakukan sebagai ibadah. Begitu pula dengan Atik yang berpesan agar calon relawan memiliki kompetensi yang cukup untuk pergi ke lokasi.

Atik juga berharap, mahasiswa dapat menjalankan misinya dengan baik. Kondisi bencana yang sekarang terjadi merupakan laboratorium nyata bagi mahasiswa untuk mengimplementasikan ilmu yang diperoleh di bangku perkuliahan. (*)

Penulis : Galuh Mega Kurnia

Editor : Binti Q. Masruroh

Berita Terkait

UNAIR News

UNAIR News

Media komunikasi dan informasi seputar kampus Universitas Airlangga (Unair).