Fintech dan Hak Asasi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh conference com mx
Ilustrasi oleh conference com mx

Pekan-pekan ini, dunia financial technology (fintech) diramaikan oleh demonstrasi nasabah di Jakarta dan laporan  kepada Lembaga Bantuan  Hukum (LBH). Dalam waktu dua pekan, sedikitnya ada 1.300-an laporan tentang praktik nakal collection fintech yang masuk, tidak termasuk 2.000-an laporan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Para nasabah melapor karena merasa menjadi korban intimidasi, persekusi, perbuatan tidak menyenangkan, fitnah, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh perusahaan fintech. Yang dialami nasabah bermacam-macam. Ada yang diintimidasi oleh collector fintech, dicaci-maki, dan diminta foto telanjang. Ada juga yang foto pribadi dalam smarphonediakses dan disebarkan, dan ada juga penagihan dilakukan terhadap  kontak-kontak di smartphone (baca: HP).

Yang menarik, laporan tersebut bukan hanya ditujukan kepada satu perusahaa fintech. LBH mencatat  laporan-laporan nasabah itu ditujukan kepada 89 platform fintech. Hampir semua adalah fintech yang bergerak dalam peer to peer lending.

Platform umumnya menawarkan kredit cepat tanpa agunan dan tanpa survey. Platform hanya melakukan survey melalui teknologi dengan cara diperbolehkan mengakses berbagai informasi penting nasabah. Bahkan, kontak dalam smartphone nasabah.

Inilah awal dari bencana ini. Begitu kredit nasabah bermasalah atau macet, fintech menggunakan berbagai cara untuk menagih. Sebagian nasabah mengaku kontak-kontak dalam handphone-nya dihubungi untuk mengingatkan kewajiban nasabah. Ada yang penagihan disebar ke berbagai pihak dengan tujuan mempermalukan nasabah jika tidak segera membayar tagihannya.

Pengaduan lain berkaitan dengan denda harian yang sangat besar. Keterlambatan pembayaran langsung dikenakan denda yang dihitung setiap hari, sehingga tiap hari membesar. Ada yang dendanya Rp 50.000 rupiah per hari untuk pinjaman yang besarnya antara Rp 600.000 hingga Rp 1.500.000,-. Bunganya juga sangat tinggi hingga 62,5% sebulan, meskipun umumnya berkisar 20-30 persen per bulan.

Fakta menarik lainnya adalah kebanyakan fintech di Indonesia adalah illegal. Dari sekitar 300 platform fintech yang beroperasi di Indonesia, tercatat hanya 60-an yang memiliki izin operasional dari OJK. Menurut data pada OJK per Oktober 2018, ada 182.895 rekening pemberi pinjaman uang berbasis teknologi ini. Peminjamnya mencapai 2.805.026 rekening dengan nilai pinjaman mencapai 15,99 triliun.

***

Tindakan para platform fintech yang mengakses data-data pribadi nasabah  untuk  mengintimidasi dan memanfaatkannya untuk mempermalukan nasabah harus menjadi pelajaran bagi OJK. Sebab,  diperkirakan platform fintech yang bergerak pada peer to peer lendingakan berkembang sangat pesar. Diperkirakan,  omzet tahun depan bisa mencapai Rp 40 triliun.

Banyaknya platform illegal serta perlindungan nasabah, khususnya hak asasi nasabah, harus menjadi perhatian serius pemerintah (OJK). Sebab, jika tidak segera dicegah dan dilakukan tindakan tegas, hal itu akan membahayakan masa depan fintech itu sendiri.

Kasus akses data pribadi dan menggunakannya untuk kepentingan tertentu seperti ini mirip dengan kasus Cambridge Analytica yang disebut-sebut berperan besar dalam kemenangan Donald Trump pada pemilihan presiden Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Menurut informasi Facebook Inc., terdapat sekitar 80 ribu  akun facebook yang dibobol, sekitar 1 juta di antaranya dari Indonesia.

Konsultan dan analis Cambridge Analytica yang berkantor pusat di Inggris itu pun menjadi sorotan. Pembonolan data itu sebagian besar digunakan untuk kepentingan politik tersebut dianggap telah merugikan dan melanggar hak asasi manusia. Facebook sebagai penyedia jasa teknologi informasi pun harus bertanggung jawab terhadap hal ini.

Dalam konteks Indonesia, fintech nakal yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia ini bisa  dikenai  hukuman pidana dan perdata. Misalnya,  melanggar undang-undang (UU) informasi dan transaksi elektronik (ITE), penyalahgunaan data nasabah dan melakukan pengancaman dan pencemaran nama baik di media elektronik.

Oleh sebab itu, sebelum kasus seperti ini akan membesar seiring perkembangan fintech, penegakan hukum harus dilakukan. OJK harus berani memberi sanksi berat penutupan terhadap fintech nakal yang melanggar Pasal 47 Peraturan OJK No. 77, meskipun fintech ini belum masuk dalam POJK No 1/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Selain itu, nasabah yang dirugikan juga harus berani melaporkan para platform nakal tersebut kepada pihak kepolisian.  Aparat penegak hukum harus berani mengambil langkah tegas dengan penuntutan dan hukuman maksimal atas berbagai tindak pidana teknologi di bidang keuangan ini.

Satu hal yang tidak kalah penting, DPR atau pemerintah harus segera menyusun RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang sempat diinisiasi. Ini untuk mengantisipasi pengambilan secara illegal data-data pribadi melalui teknologi informasi untuk kepentingan apa saja, bisnis atau politik, yang akan merugikan masyarakat.*

Berita Terkait

Imron Mawardi

Imron Mawardi

Dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga