Phubbing: Degradasi Empati dalam Distorsi Komunikasi Masa Kini

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Liputan 6
Ilustrasi oleh Liputan 6

Perkembangan teknologi yang kian canggih, telah memberikan banyak pengaruh dan kemudahan bagi manusia untuk melakukan komunikasi maupun akses informasi. Jika dahulu banyak orang berkomunikasi secara lisan dan bertatap muka, maka pada era digital seperti saat ini, seseorang tidak lagi diharuskan bertemu untuk sekadar menyampaikan pesan atau informasi. Sebab, piranti komunikasi seperti ponsel atau gawai menjadi perangkat yang mampu mengantarkan pesan dalam waktu singkat. Ditambah lagi kehadiran media baru seperti internet dan sosial media dewasa ini telah menawarkan akses informasi secara mudah, luas, dan bebas. Hal tersebut kemudian melahirkan realitas baru berbentuk virtual bernama dunia maya. Keberadaan dunia maya yang memfasilitasi kebebasan berekspresi dan berbagi informasi tanpa disadari telah mengakibatkan pola interaksi manusia dalam berjejaring di kehidupan nyata mengalami perubahan.

Mari kita perhatikan sejenak, ada berapa banyak orang yang lebih sering menatap layar gawai dibanding menatap lawan bicaranya? Ya, kini banyak dijumpai orang-orang yang lebih disibukkan dengan gawai dan dunia maya dibandingkan harus berinteraksi atau membangun hubungan dengan lingkungan di sekitarnya. Fenomena ini disebut dengan phubbing. Bagi sebagian orang mungkin istilah phubbing masih terdengar asing. Namun rupanyaperilaku tersebut sering kita jumpai atau bahkan kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Phubbing merupakan akronim dariphone dan snubbing. Kata ini diciptakan oleh sejumlah ahli bahasa, komunikasi, dan teknologi di Australia bersama organisasi bernama Macquaire Dictionary untuk merumuskan sebuah istilah yang menggambarkan perilaku atau sikap tidak mempedulikan lawan bicara akibat fokus mengoperasikan gawai. Pelaku phubbing disebut sebagai phubber, sedangkan korban phubbing disebut sebagai phubbed.

Jika dahulu pepatah mengatakan jauh di mata dekat di hati, maka yang terjadi pada para perilaku phubbing justru sebaliknya. Ketika seseorang asyik menggunakan gawai saat terlibat perbincangan, seringkali ia tak mengindahkan keberadaan lawan bicaranya. Ironisnya, phubbing justru sering terjadi saat momen kebersamaan sedang berlangsung. Alih-alih menjalin silaturahim, waktu berkumpul justru menjadi ajang saling menunduk dan senam jari. Begitupun dalam lingkungan keluarga, pemandangan phubbing juga kerap dijumpai. Phubbing menunjukkan betapa pengguna media sosial saat ini telah menjadi manusia yang asyik sendiri. Phubbing mengindikasikan terjadinya komunikasi yang tidak sempurna antara dua pihak yang saling berinteraksi.

Perilaku phubbing dapat dianalisis menggunakan teori ketergantungan media. Secara sederhana, teori ini menegaskan bahwa semakin seseorang tergantung pada kebutuhannya dalam menggunakan media, maka semakin penting peranan media dalam kehidupan seseorang. Hal tersebut kemudian dapat memberikan banyak pengaruh kepada individu yang bersangkutan (Barran, 2010).Ketika seseorang keasyikan mengoperasikan gawai saat terlibat perbincangan, maka besar kemungkinania tidak dapat menyerap informasi dari lawan bicaranya secara maksimal. Tak jarang lawan bicara mereka harus mengulang pernyataan yang sama untuk menjelaskan. Robert Kaunt (dalam Sparks, 2013) menyatakan bahwa indvidu yang menggunakan gawai secara berlebihan akan mengalami short attention span atau gangguan pemusatan perhatian. Pada level tersebut, mereka tidak dapat memahami informasi yang didengar secara utuh. Lebih lanjut, Kaunt menjelaskan bahwa semakin sering seseorang menggunakan internet, maka semakin besar pula kemungkinan dirinya terisolasi dari lingkungannya. Bukan hanya itu, phubbing juga seringkali menjadi pemicu keretakan hubungan dalam relasi sosial. Keberadaan gawai saat ini seolah mampu menggeser kebutuhan manusia untuk saling bersosialisasi.

Phubbing adalah sebuah dampak ketika pengguna tidak mampu memanfaatkan teknologi dengan bijak. Tak dapat dipungkiri, terkadang phubbing justru menjadi pilihan ketika seseorang tengah bosan dan enggan menyimak pembicaraan. Rendahnya kesadaran untuk mendengarkan menjadi faktor utama penyebab terjadinya sikap acuh tak mengacuhkan. Degradasi adab akibat phubbing akan terus terjadi apabila masyarakat tak memiliki rasa simpati dan saling menghargai. Kebiasaan ini dapat dikurangi mulai dari memupuk kesadaran diri. Kesadaran untuk meminimalisir penggunaan gawai dan akses media sosial, kesadaran untuk saling bersosialisasi, berempati, dan tentu saja, kesadaran bahwa kita adalah manusia, bukan budak teknologi.

Berita Terkait

Zanna Afia Deswari

Zanna Afia Deswari

Mahasiswa Ilmu Informasi dan Perpustakaan Universitas Airlangga