Transisi Ekonomi di Jawa Timur: Ambruknya Sektor Manufaktur dan Munculnya Fenomena Deindustrialisasi

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh eciety
Ilustrasi oleh eciety

Provinsi Jawa timur jauh diunggulkan dari daya saing ekonomi selama dua dekade (Oxford Business Group 2014; World Bank 2011; Bowring 2015). Hasil dari data tersebut juga didukung dari Indeks kompetitif ekonomi dari 33 Provinsi yang dibuat oleh Asia Competitiveness Institute (ACI) menunjukkan, provinsi Jawa Timur menempati urutan kedua secara konsisten di bawah DKI Jakarta. Hal itu menunjukkan bahwa Jawa Timur sangatlah kompetitif hingga sampai tingkat kabupaten dan kota.

Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah penduduk berkisar 39,29 juta dan PDRB Rp. 2,019. 2 trilliun di tahun 2017 dan pertumbuhan ekonomi 6,06 % dari rata-rata tahun 2010 dan 2017. PDRB sektor Jasa meningkat pesat sejak tahun 2004 dan mengambil alih PDRB sektor manufaktur sebagai penyumbang besar pertama PDRB di Jawa Timur.

Pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat salah satunya dari transisi sektor ekonomi dari Manufaktur ke Sektor Jasa. Transisi ekonomi tersebut memicu tanda tanya, jika transisi ekonomi dari manufaktur ke sektor jasa sedang terjadi  hal ini memicu proses deindustrialisasi dapat berakibat pada turunnya sektor industri baik PDRB dan penyerapan tenaga kerja sehingga menyebabkan produksi pada sektor industri menurun dan akan berakibat meningkatnya impor dan pengangguran.

Selanjutnya akan berakibat pada meningkatnya ketergantungan pada negara atau daerah pengekspor manufaktur, dan sulit melakukan reindustrialisasi. Menjadi pengimpor dan konsumtif bisa mengakibatkan bergantung pada daerah atau negara lain sehingga potensi  sektor manufaktur tidak berkembang dan proses industrialisasi sulit untuk dicapai.

Sumber masalah dibalik fenomena deindustrialiasi ialah rendahnya produktifitas tenaga kerja, naiknya UMR dan upah minimum tingkat kabupaten dan kotadan tekanan dari serikat buruh untuk meningkatkan kondisi upah buruh. Dalam rendahnya produktifitas kerja, Jawa Timur memiliki tingkat produktifitas rendah dibandingkan provinsi lain. Produktivitas kerja di jawa timur jauh lebih rendah dibandingkan dengan provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, bahkan Kalimantan Timur. Penyebab dari rendahnya produktifitas di Jawa Timur dikarenakan kurangnya pemanfaatan teknologi para pekerja, masih tingginya  ketidakefisiennya dalam sektor manufaktur, dan rendahnya kesadaran pekerja untuk meningkatkan produktifitas di perusahaan.

Naiknya UMR Jawa Timur menjadi ancaman yang jelas bagi fenomena deindustrialisasi. UMR Jawa Timur pada tahun 2018 berkisar pada Rp 1.508.894 naik 13% dari tahun 2017 berkisar pada 1.337.645. Upah minimun tingkat kabupaten dan kota yang tertinggi di Jawa Timur yaitu kota Surabaya yang berkisar pada 3.583.312, Kabupaten Gresik yang berkisar pada Rp 3.580.370 dan Kabupaten Sidoarjo yang berkisar pada Rp  3.577.428. Tingkat UMR yang tinggi didominasi dari daerah industri yang terkoneksi langsung oleh tol trans Jawa dan memiliki infrastruktur yang lengkap. Akibat dari UMR yang tinggi, banyak industri manufaktur pindah dari daerah yang memiliki upah tinggi ke daerah yang memiliki upah rendah. Akhirnya industri padat karya seperti Industri tekstil dan sepatu diganti oleh industri padat modal atau sektor jasa, sehingga munculnya femonema deindustrialisasi yang terjadi saat ini.

Tekanan dari serikat buruh seperti aksi demo dan unjuk memaksa perusahaan untuk meliburkan karyawannya untuk mengikuti aksi demo tersebut. Banyak tuntutan dari serikat buruh yang tidak masuk akal, seperti menuntuk peningkatan upah buruh yang perusahaan tidak sanggup untuk menggaji upah buruh karena tingkat upah buruh yang tinggi. Akibat dari tekanan serikat buruh banya perusahhan manufaktur yang bangkrut dan melakukan relokasi ke daerah lain sehingga para buruh menjadi pengganguran yang tidak bisa mencukupi nafkah dirinya sendiri dan keluarga serta lenyapnya sektor manufaktur di Jawa Timur.

Solusi dari penyebab yang memicu fenomena deindustrialisasi ialah pemerintah harus menyediakan pendidikan dan kesehatan secara menyeluruh bagi semua orang agar produktifiktas pekerja meningkat sehingga jumlah barang yang dihasilkan meningkat secara menyeluruh. Para pengusaha harus berusaha meningkatkan efisiensi dalam menjalankan perusahaan, mengadopsi teknologi secara menyeluruh ke dalam sistem perusahaan dan selalu menciptakan suasana yang kompetitif  sehingga produktifitas secara meningkat. Pemerintah, pengusaha dan serikat buruh harus bekerja sama dalam menyusun upah minimum agar supaya dapat diterima oleh semua kalangan. Pekerja harus meningkatkan skill dan kreativitas dalam menghadapi gempuran arus teknologi yang pada akhirnya merugikan para pekerja.

Berita Terkait

Ahmad Darul Mustaghfirin

Ahmad Darul Mustaghfirin

Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Universitas Airlangga 2018