Membedah Isu Kesehatan dalam Kampanye Politik Pilpres 2019

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh harsanbaharuddin.wordpress.com

Berita yang mendominasi pandangan publik pada sektor kesehatan mendekati pemilu 2019 lebih banyak terkuras pada isu pengelolaan Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan yang mengalami defisit arus kas (cashflow) pada tahun 2018 sebesar 16,5 Triliun. Isu ini membuat publik ‘mengabaikan’ isu penting lainnya, seperti rendahnya cakupan vaksinasi MMR di beberapa area di Indonesia akibat isu kehalalan vaksin, sekaligus bahasan mengenai kesenjangan akses pelayanan kesehatan yang saat ini masih perlu perhatian besar.

Isu kesehatan dalam kampanye politik, terutama di Indonesia cenderung menjadi isu perifer apabila dibandingkan dengan isu pendidikan dan ekonomi, terutama setelah diberlakukannya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Isu kesehatan juga masih sering dipersempit menjadi kualitas pelayanan kesehatan, padahal penanganan masalah kesehatan hanya bisa dilakukan secara multi-sektoral, tidak semata-mata tanggung jawab otoritas kesehatan.

Berkaca dari masalah tersebut, dalam visi-misi kedua pasangan capres-cawapres yang berlaga tahun depan, nampaknya tidak banyak hal baru yang ditawarkan, bahkan terkesan business as usual. Pembangunan kesehatan yang merupakan tuntutan dari SDGs (Sustainable Development Goals) menghendaki pembangunan yang berkelanjutan dan terukur, seharusnya dapat diadopsi dalam visi-misi kandidat.

Contoh mudahnya, persoalan stunting dan kesehatan ibu-anak (KIA) yang sering diungkit petahana dalam janji kampanyenya, butuh waktu yang panjang dan strategi yang berkelanjutan. Amat tidak rasional apabila diklaim dapat diselesaikan dalam waktu satu periode pemerintahan.

Lebih lanjut, soal konsep pembangunan kesehatan dengan paradigma sehat. Kedua kandidat sadar bahwa tidak bisa terus-menerus mempertahankan konsep pembangunan kesehatan dengan paradigma sakit (kuratif). Itu sudah disadari, namun pada kenyataannya, dalam menanggapi kasus defisitnya BPJS, kedua kandidat masih menjajakan janji-janji populis tanpa memberikan komitmen yang jelas soal program preventif-promotif.

Untuk menanggapi isu ini, hemat saya, para kandidat harus menunjukkan terobosan dengan menawarkan program yang lebih operasional-konkrit. Empowerment dan community engagement (gotong royong) sebagai modal sosial bangsa Indonesia, harus diutilisasi dalam mendorong program-program kesehatan yang filosofinya preventif dan promotif. Namun sangat disayangkan, persoalan kesehatan pada materi kampanye kedua kandidat memang masih terkesan balapan jargon dan sangat populis, tanpa disertai substansi yang konkrit.

Di sisi lain, meskipun menawarkan program terobosan akan memberikan daya tarik tersendiri, menjamin keberlanjutan kebijakan pembangunan kesehatan jauh lebih penting. Pasalnya, membangun sektor kesehatan harus dimulai dari hulu ke hilir, tidak mungkin bisa secara ekslusif diklaim sebagai kesuksesan periode pemerintahan tertentu.

Setelah mengamati visi dan misi kedua kandidat, berikut ulasan singkat saya atas keduanya. Sebagai petahana, Kandidat nomor 01 memang terlihat lebih operasional dengan menyentuh isu seperti stunting dan Kesehatan Ibu-Anak (KIA). Pasangan ini juga sudah menyebutkan perhatiannya pada kesenjangan akses pelayanan kesehatan, dengan berjanji untuk menambah cakupan PBI-KIS untuk warga miskin.

Namun belum ada misi yang menjamin keberlanjutan program JKN, termasuk menyusun roadmap lanjutan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Publik perlu mendapat informasi mengenai strategi yang ditawarkan pasangan ini agar kedepan BPJS tidak lagi defisit.

Sementara kubu Kandidat 02, menawarkan janji-janji yang sama normatifnya. Dalam visi-misinya, Kedua Kandidat juga menjanjikan hal yang sama, yaitu memperluas akses, memperbaiki status gizi, menekan angka kematian ibu (AKI) dan bayi (AKB). Menariknya, isu tata kelola JKN untuk menghindari defisit cash flow hanya menjadi isu yang diangkat salah satu Kandidat. Ada salah satu kandidat sudah mulai menyelipkan asas solidaritas dan gotong-royong sebagai filosofi kebijakan untuk menyejahterakan masyarakat, meskipun belum jelas implementasinya.

Terakhir, saya mengharapkan agar kedua kandidat mulai menyadari bahwa harus ada sinergi antara pembangunan kesehatan dengan pembangunan di aspek lainnya, seperti ekonomi dan pendidikan. Isu kesehatan seharusnya muncul di sektor-sektor ini, namun rupanya ini luput dari perhatian keduanya. Injeksi isu kesehatan juga harusnya terlihat dari bagaimana strategi yang ditawarkan kandidat dalam memitigasi dampak perubahan iklim.

Selain itu, saya mengharapkan ada pernyataan yang jelas soal keberpihakan kedua kandidat pada isu rokok, termasuk apakah kedua kandidat akan meratifikasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Isu distribution of power dalam pembangunan kesehatan juga masih bisa dieksplorasi, terkait dengan bagaimana kedua kandidat berkoordinasi dengan pemerintah daerah soal kebijakan dalam sektor kesehatan. (*)

Berita Terkait

Ilham Akhsanu Ridlo

Ilham Akhsanu Ridlo

The Airlangga Centre for Health Policy (ACeHAP) Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga