Melestarikan Flora dan Fauna, Menyejahterahkan Manusia

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Ilustrasi oleh Borneo Chanel
Ilustrasi oleh Borneo Chanel

Abbe Georges, kosmolog asal Belgia, pada 1927 menghebohkan dunia dengan mengemukakan teori Big Bang. Teori penciptaan alam semesta paling kondang ini disokong banyak bukti ilmiah, sehingga dapat diterima semua kalangan, baik ilmuwan maupun orang awam. Menurut teori Big Bag, alam semesta bermula dari kondisi super padat dan panas, yang meledak dan kemudian mengembang kira-kira 13.700 juta tahun lalu.

Temperatur suhu panas mengurai berbagai unsur-unsur kompleks dari benda langit hasil ledakan. Sementara proses pendinginan dan kondensasi mendorong keanekaragaman variasi unsur-unsurnya. Alam semesta akan meledak, mengembang, menyusut, dan terus-menerus melanjutkan siklus reinkarnasinya. Pola proses evolusi materi di luar angkasa tersebut sebagaimana terjadi dalam evolusi kehidupan di bumi.

Proses terjadinya hujan secara alamiah juga mengikuti siklus alam. Sinar matahari mengakibatkan menguapnya air dari sungai, danau, laut, manusia, flora maupun fauna. Uap air mengalami kondensasi, sehingga menjadi embun. Titik-titik embun berkumpul, memadat dan membentuk awan. Kemudian dengan bantuan angin, awan-awan kecil berkumpul dan membentuk awan yang lebih besar. Ketika awan yang terkumpul berubah menjadi semakin kelabu, dan titik-titik air memberat menjadi butiran-butiran air yang jatuh ke bumi. Maka terjadilah hujan.

Siklus kehidupan tersebut juga terjadi pada manusia, flora dan fauna. Siklus hidup manusia, flora dan fauna memungkinkan pergantian generasi dengan proses tertentu dan sesuai karakteristik masing-masing. Sebagai makhluk hidup, manusia, flora dan fauna saling berkelindan menerima dan mengikuti berbagai siklus kehidupan yang terjadi di bumi, tempat tinggal mereka. Meskipun, flora dan fauna sepertihalnya manusia, dapat bereproduksi dan mengalami metabolisme, namun hanya manusia, makhluk hidup yang diberi anugerah akal budi.

Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, menyebut manusia sebagai ‘animal rasionale’, binatang yang dapat berpikir rasional. Akibatnya, sumber pengetahuan dan alat untuk ‘mengerti’ dunia sekitarnya tidak hanya terbatas pada entitas penginderaan saja. Oleh karena itu, sebagai makhluk yang dibekali akal budi, manusia mengemban tanggung jawab moral dalam mengelolah bumi beserta isinya.

Flora, Fauna dan Manusia Indonesia

Hamparan hutan tropis lebat dan terluas kedua setelah Brazil, berada di Kepulauan Indonesia. Spesies flora dan fauna di Indonesia sangat beragam, bahkan variasinya terbagi-bagi berdasarkan biomanya masing-masing. Jenis tanah, ketinggihan lahan, iklim dan faktor-faktor lainnya yang saling tumpang tindih melipatgandakan pertumbuhan keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna. Kondisi geografis wilayah Indonesia yang terdiri dari 16.065 pulau (terdaftar PBB 2017) semakin mendorong pertumbuhan keanekaragaman hayati, sehingga Indonesia menempati urutan teratas sebagai negara ‘mega-biodiversitas’.

Namun, hutan-hutan dan lingkungan hidup flora dan fauna di Indonesia senantiasa terancam aktivitas-aktivitas eksploitasi. Bagi flora dan fauna, kemerdekaan Indonesia hanya peralihan rezim, yang hanya berdampak pada pergantian aktor. Kenyataannya pembakaran hutan dan perburuhan satwa masih tetap berlanjut. Misalnya, pembantaian harimau Jawa, perdagangan ilegal burung Cendrawasih dan pembakaran hutan untuk membuka lahan perkebunan yang seringkali terjadi pada masa kolonial, juga bisa dijumpai setelah kemerdekaan Indonesia.

Kepulauan tropis yang dikagumi Alfred Russel Wallace, kini berulangkali masuk portal berita nasional maupun internasional bertajuk kebakaran hutan, pembantaian orang utan dan perdagangan ilegal satwa dilindungi. Oleh karena itu, momen peringatan Hari Cinta Puspa & Satwa Nasional yang jatuh pada tanggal 5 November ini, dapat menjadi hari perenungan atas pertanyaan, apakah manusia Indonesia sudah melaksanakan tanggung jawab moralnya sebagai satu-satunya makhluk hidup yang dianugerahi akal pikiran?

Siklus Kehidupan dan Tanggung Jawab Moral   

Perbincangan warung kopi senantiasa menarik. Seorang teman berkisah tentang kampung halamannya. Sebelum berkuliah di Universitas Airlangga, pepohonan kelapa sangat melimpah di daerahnya. Namun, kemarin ia tidak menemukan satu pun pohon kelapa. Pohon-pohon kelapa dirusak kumbang nyiur yang menyerang pangkal batang, sehingga banyak pohon kelapa sudah mati pada usia 1-2 tahun.

Menurut masyarakat setempat, serangan hama kumbang nyiur disebabkan karena perburuhan tupai. Air kencing tupai (bajing) dipercaya mampu mencegah pohon kelapa dari serangan kumbang nyiur. Teman saya membenarkan perburuhan tupai tersebut, karena menyaksikan langsung tiga pengendara motor mengangkut banyak sekali tupai mati menuju kota sebelah. Dari kisah itu, kita tahu, merusak siklus kehidupan fauna dengan memutus salah satu rantai makanan akan berdampak buruk terhadap flora maupun manusia yang saling terhubung dalam kesatuan lingkungan hidup.

Dengan akal budinya, manusia Indonesia seharusnya bisa menumbuhkan kesadaran atas batas-batas eksploitasi. Kerusakan apapun dalam siklus alam akan berdampak buruk, dan berlaku pula sebaliknya. Oleh karena itu, melindungi dan melestarikan flora dan fauna merupakan bagian dari upaya menjaga siklus alam. Penulis buku Life, Origin & Nature, Hereward Carrington, mengatakan bahwa kehidupan (tentang manusia, alam, flora maupun fauna) dan cinta jadi semacam analogi sampai batas tertentu; karena, ketika kita memberi lebih banyak, maka semakin banyak pula kita menerima. Terbukti, ketika saya mengadakan penelitian sosial-budaya di kampung nelayan Greges, masyarakat setempat terbuka dan menyambut kami lantaran sebelumnya banyak mahasiswa Universitas Airlangga mengajak mereka menanam mangrove.

Berita Terkait

Manda Firmansyah

Manda Firmansyah