Intip Tiga Harta Karun Istimewa Entikong

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Batas Negeri
Ilustrasi oleh Batas Negeri

Perjalanan menuju Entikong (Perbatasan Indonesia-Malaysia) tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Tidak pernah berpikir kalau saya bisa tinggal merasakan kehidupan di perbatasan selama sebulan, waktu yang cukup singkat, tapi sangat cukup untuk merasakan kehidupan yang berbeda di antara daerah garis depan ini. Perjalanan saya diprakarsai adanya program Marching for Boundary yang diadakan oleh Beasiswa Aktivis Nusantara. Program Marching for Boundary merupakan program magang di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) selama satu bulan. Saya bersama teman sejawat menjalani program ini mulai 16 Juli sampai 12 Agustus lalu. Hidup di salah satu daerah Kalimantan Barat ini cukup membuat saya sadar akan tentang perhargaan kepada alam.

Sebelum datang ke Entikong, terlintas di benak saya bahwa desa ini akan sangat pelosok di kelilingi hutan. Ekspektasi saya untuk hal ini memang ada benarnya juga. Untuk sampai di Entikong, saya butuh waktu sekitar 4-5 jam dari Pontianak dengan menggunakan travel. Yang bisa dinikmati selama perjalanan adalah kebun-kebun kelapa sawit, bukit-bukit dengan perpohonan lebat, dan rumah-rumah panggung. Namun, ketika sampai di kecamatan Entikong, desa ini cukup ramai dibandingkan dengan daerah lainnya. Mungkin salah satu penyebabnya adalah letaknya yang berdekatan dengan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) sehingga masyarakat lebih memilih bermukim di kecamatan Entikong. Tapi, jangan salah, kecamatan Entikong sendiri masih punya desa-desa pelosok yang tidak mudah dijangkau dengan transportasi umum. Awalnya, saya berpikir perjalanan Entikong akan mulus tanpa kendala. Tapi, jalan berliku rasanya menyambut dengan ciri khas yang tidak bisa dilupakan. Kalau belum terbiasa melewati jalan seperti ini, saya sarankan untuk bawa obat pencegah mabuk darat.

Selamat tinggal di Entikong, ada beberapa hal yang menjadi salah satu ciri khas terlebih karena alam telah menjadi harta karun yang sangat bernilai untuk penduduk setempat. Tidak jarang kalau kita pergi ke Entikong, kita akan menemukan lereng-lereng bukit dipenuhi dengan tumbuhan menjalar.Awalnya saya kira sirih, tapi ternyata itu tanaman lada atau sahang. Setelah ditelusuri lebih lewat dialog dengan masyarakat setempat, mata pencaharian paling banyak di Entikong adalah berkebung sahang dan kelapa sawit. Murid-murid saya di SMK YLBE Entikong tidak jarang yang membantu orang tuanya ke kebun yang letaknya pun ternyata jauh dari kecamatan Entikong. Kebun Sahang banyak ditanam di bukit yang memiliki cukup ketinggian antara 300-1500 meter di atas permukaan laut. Jadi, kalau kita ingin menyusuri daerah perkebunan sahang ataupun kelapa sawit, mau tidak mau harus menaiki bukit-bukit Entikoeng.

Masih kurang puas dengan pemandangan jejeran kelapa sawit yang rapi, tentunya saya bolang lagi ke tempat lain di Entikong. Tidak perlu datang ke desa pelosok di kecamatan Entikong, pemandangan perbukitan hijau sudah bisa dijamah ketika kita melewati jalan raya. Akan sangat terlihat sangat indah jika kita menyusuri jalan di sore hari saat matahari mulai malu-malu untuk beranjak turun dari peraduannya.

Tidak hanya itu yang istimewa dari perjalanan ke Entikong. Saya juga bisa menyaksikan langsung ketergantungan masyarakat setempat kepada alam. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau Entikong pasti susah air. Jika kemarau panjang melanda Entikong, masyarakat sudah pasti akan mengandalkan air dari sungai. Tidak jarang saya melihat anak-anak dengan senjata penangkap ikan mereka, ibu-ibu dengan bak cucian, dan pencari rebung bersama-sama memanfaatkan aliran sungai ini untuk memenuhi kebutuhan air dan hiburan sehari-hari.

Kalau melihat kekayaan alam yang menjadi harta karun di Entikong, betapa bersyukurnya Tuhan masih bisa menolong manusia dengan cara-cara yang berbeda, tapi tetap memenuhi kebutuhan. Harta karun ini patut untuk dijaga oleh para generai Entikong. Tak lupa juga, kekayaan-kekayaan lainnya yang berkaitan dengan pengembangan Sumber Daya Manusia harus terus dikembangkan untuk menjadikan daerah garis depan sejahtera. Terimakasih Entikong untuk pengalaman bolangnya!

 

*Ditulis dari pengalaman Marching for Boundary di Entikong, Kalimantan Barat (Juli-Agustus)

Berita Terkait

Imamatul Khair

Imamatul Khair

Penulis adalah Alumni Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Universitas Airlangga 2017 Editorial Assistant of Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia