Pendidikan Perbatasan Indonesia-Malaysia, Cukupkah?

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
ilustrasi
Ilustrasi oleh batas negeri.com

UNAIR NEWS – Perubahan pendidikan konvensional menjadi digital nampaknya berkembang pesat saat-saat ini. Namun, jika ditengok ke bagian perbatasan Indonesia, nampaknya pendidikan digital yang masif dilakukan di kota metropolitan dan daerah sekitarnya belum berlaku di sini. Entikong adalah salah satu daerah di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat- yang langsung berbatasan dengan Malaysia. Tak heran jika jalur perbatasan antara Indonesia-Malaysia yang berada di Entikong disebut sebagai jalur sutera karena bus dari Indonesia-Malaysia atau sebaliknya dapat masuk ke dua negara tanpa harus menyebarangi lautan. Jalur sutera ini pada satu sisi memberikan dampak positif dan negatif bagi masyarakat Entikong. Pendidikan merupakan salah satu di antara sorotan yang harus pemerintah perhatikan baik dari segi pelayanan terhadap siswa, ketersediaan tenaga pendidik, dan fasilitas belajar.

Seperti yang dilansir oleh sejumlah media, Kalimantan Barat masih membutuhan setidaknya 15 ribu guru untuk mencukupi kebutuhan minimal tenaga pendidik (Tribun Pontianak, 2017). Terdapat setidaknya 70 ribu guru di Kalimantan Barat yang terbagi menjadi 45 ribu guru PNS dan 25 ribu guru honorer. Meskipun begitu, ketersediaan tenaga pendidik tampaknya tidak terlalu menyebar dengan merata. Seperti halnya yang dirasakan oleh beberapa sekolah di Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat, mendapat jalur sutera rasanya tidak menguntungkan dalam hal pendidikan. SMK Yayasan Lintas Batas, MTs Istiqomah, dan MI Istiqomah yang bermukim di Entikong mengalami penderitaan yang sama dalam hal tenaga pendidik.

Sekolah-sekolah ini mati-matian mencari guru yang bisa mengisi mata pelajaran tertentu. Sekolah ini terpaksa mengambil guru dari luar sekolah yang sudah mendapatkan amanah di sekolah tertentu. Alternatif yang mereka pakai adalah menjadikan guru dari sekolah lain sebagai guru terbang untuk mengisi mata pelajaran tertentu. Persoalan ini mungkin dapat teratasi dengan adanya program Guru Garis Depan (GGD) yang ditempatkan di Sekolah Garis Depan (SGD). Sekolah Garis Depan meliputi sekolah-sekolah di lokasi 3 T (Terluar, Terdepan, dan Tertinggal). Program SGD dan GGD merupakan perwujudan dari program Nawacita ke-3 yaitu membangun dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Berdasarkan target pembenahan tahun 2016 lalu, ada sebanyak 114 SGD yang menjadi sasaran dengan 11 unit sekolah baru (7 SMA, 2 SMK, dan 2 SLB) serta 103 revitalisasi (27 SD, 30 SMP, 25 SMA, 18 SMK, 3 SLB) (Jendela Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). Salah satu daerah yang mendapatkan perhatian soal SGD dan GGD adalah Sanggau, Kalimantan Barat. Dari data jumlah pendaftar GGD di Kalimantan Barat, terdapat setidaknya 1492 guru untuk Sanggau, Bengkayang, dan Sambas. Jumlah pendaftar ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pendaftar GGD di 48 kabupaten/kota lainnya.

Adanya program GGD di daerah 3T seharusnya mampu untuk menjadi alternatif pemerataan guru. Selain, harus adanya advokasi pemuda calon pendidik lainnya dari daerah yang bersangkutan. Akibatnya jika pemerataan guru di daerah 3T tidak dapat ditanggulangi, siswa-siswi bahkan tidak akan mendapatkan hak penuh mereka untuk belajar karena tidak adanya efektifitas pembelajaran di sekolah. Yang terjadi di dusun Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat adalah siswa-siswi terpaksa tidak menerima pelajaran di jam sekolah karena guru mata pelajaran tersebut tidak masuk atau memang tidak tersedianya guru pengampu mata pelajaran tersebut. Tidak jarang saya mendapati siswa-siswi SMK YLB keluar kelas, bermain bola, nongkrong di depan kelas, atau bolos. Mungkin, siswa-siswi ini sudah lelah menghadapi kondisi sekolah yang seperti itu.

Saat ini, kemendikmud telah mengalokasikan sebanyak Rp. 1,7 T untuk tunjungan guru daerah khusus. Namun, dalam pengelolaan dana tersebut sudah diserahan langsung ke pada pemerintah setempat. Agaknya, perlu dilakukan pembenahan terhadap penggunaan dana untuk menunjang kebutuhan-kebutuhan sekolah di daerah Rp. 3 T. Meskipun pada kenyataannya pemerintah mengurangi alokasi anggaran untuk pendidikan menjadi 416,09 T, alokasi dana tersebut untuk daerah malah meningkat sebanyak 0,12% (Jendela Pendidikan dan Kebudayaan, 2017).Memaksimalkan tunjangan guru non-PNS bisa jadi dapat memberikan ketertarikan guru-guru perbatasan untuk tetap di daerah. Kurangnya tenaga pendidik di daerah penyebabnya bisa jadi karena perbandingan guru yang akan pensiun dan tersedianya calon guru timpang. Tahun 2015 yang lalu saja, Kalbar dikatakan memiliki 11.000 guru yang memasuki masa pensiun. Bukan tidak mungkin bila mengandalkan transfer guru melalui GGD, tapi usaha dari pemerintah Entikong sendiri harus mampu menempa regenerasi guru dari dalam sendiri.

Bila tidak, ketergantungan untuk mencari guru dari luar daerah akan terus terjadi. Upaya ini tentu dilakukan salah satunya dengan penguatan peran STKIP (Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan) di Entikong dan pelatihan untuk sumber daya manusia sekolah sebagai calon penerus guru. Penting untuk diketahui bahwa, adanya insitusi pendidikan yang berfokus pada pengajaran akan membantu dalam proses mencetak guru sebagai korektor, inspirator, informator, organisator, motivatior, inisiator, fasilitator, pembimbing, demonstrator, pengelola kelas, mediator, supervisor, dan evaluator (Amri, 2013). Oleh karenanya, dalam menyiapkan kualitas pendidikan, perlu adanya generator tenaga pendidik baik dari segi kuantitas dan kualitas.

Jalur Sutera antara Indonesia-Malaysia di Entikong tidak menjamin semua kebutuhan masyarakat terpenuhi terutama untuk kebutuhan pendidikan. Dengan adanya program nawacita yang telah terselenggara di Indonesia untuk 3T, diharapkan mampu untuk mengirimkan lebih banyak guru untuk ditempatkan di sekolah-sekolah yang memang kurang tenanga pendidik. Percayalah bahwa daerah 3T dapat berdaya dari orang-orang di dalamnya. Indonesia perlu bangga telah dapat mengakomodir kebutuhan rakyatnya dalam hal pendidian meskipun masih perlu proses pembenahan sekarang dan ke depannya.

Berita Terkait

Imamatul Khair

Imamatul Khair

Penulis adalah Alumni Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Universitas Airlangga 2017 Editorial Assistant of Jurnal Administrasi Kesehatan Indonesia