Dilema Pendidikan Dokter, Butuh Perhatian Khusus

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
pendidikan dokter
DEMONSTRASI para dokter muda di pintu Monas, Jakarta, menuntut adanya reformasi dalam pendidikan dokter di Indonesia. (Foto: Istimewa)

HARI Kamis (19/7/2018) lalu ratusan orang yang tergabung dalam Pergerakan Dokter Muda Indonesia (PDMI) melakukan demonstrasi di depan pintu Barat Monumen Nasional (Monas) Jakarta Pusat. Alasan mereka berdemo adalah untuk meminta Presiden Joko Widodo menyelesaikan polemik ijazah mereka yang ditahan oleh pihak kampus.

Menurut para dokter muda itu, ijazahnya ditahan oleh pihak kampus karena mereka belum lulus Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang sebelumnya bernama Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). UKMPPD yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran menyatakan bahwa tata cara ujian kompetensi adalah syarat mahasiswa kedokteran untuk memperoleh sertifikat profesi yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi.

Menurut PDMI, ijazah kelulusan dengan sertifikat profesi itu memiliki tupoksi berbeda. Ketika dokter muda dinyatakan lulus yudisium, seharusnya sudah mendapatkan ijazah. Sedangkan UU No. 20 Tahun 2013 mensyaratkan UKMPPD sebagai exit exam mahasiswa kedokteran dalam rangka memperoleh sertifikat kompetensi dan sertifikat profesi sebagai pengganti ijazah.

Pendidikan kedokteran adalah pendidikan yang sangat krusial, karena berhubungan langsung dengan nyawa manusia. Kualitas pendidikan kedokteran menjadi harga yang tidak bisa ditawar untuk menghasilkan kualitas dokter bermutu. Kita sebagai manusia tentu ingin diri dan keluarga kita ditangani oleh seorang dokter kompeten dan professional ketika sedang sakit atau dalam keadaan nyawanya terancam.

Persoalan di atas merupakan contoh dari carut-marutnya pendidikan kedokteran di Indonesia yang sudah berlarut-larut dan didiamkan. Masih banyak masalah krusial yang telah diketahui pemerintah terkait dengan pendidikan kedokteran di Indonesia, namun pemerintah masih bergeming. Masalah tersebut sangat mungkin akan menjadi “bom waktu” yang bisa mengancam generasi Indonesia.

Life-saving manusia memang tanggungjawab seorang dokter. Tetapi bagaimana menghasilkan dokter yang berkualitas, adalah tanggungjawab pemerintah. Pemerintah memiliki hak prerogatif untuk menyeleksi calon dokter ini sejak masih mahasiswa.

Mulai dari hulu (proses pendirian Fakultas Kedokteran dan proses penerimaan mahasiswa baru) sampai di hilir (pendidikan kedokteran berkelanjutan bagi dokter) menjadi kewajiban pemerintah.

Saat ini sudah banyak pakar dan stakeholders yang dilibatkan dan dimintai saran terkait dengan pengembangan pendidikan kedokteran dan dunia kesehatan Indonesia. Pemerintah memiliki bekal lebih dari cukup, hanya saja belum tereksekusi.

Stop Pendirian FK Baru

Hingga saat ini, jumlah kampus Fakultas Kedokteran (FK) di Indonesia mencapai 86 FK. Sebanyak 75 FK diantaranya sudah menghasilkan lulusan dokter, sedangkan 11 FK masih belum meluluskan dokter.

Pada September 2017, pemerintah secara resmi telah mencabut moratorium pendirian FK baru. Alasan pencabutan itu karena adanya peningkatan akreditasi dari delapan kampus FK yang terakreditasi C menjadi B. Persentase akreditasi menjadi 20 FK terakreditasi A, 44 FK terakreditasi B, 22 FK terakkreditasi C dan akreditasi minimal (Sumber: LAM PT KES).

Alasan kedua, ini yang sering disampaikan pemerintah adalah masalah rasio dokter. Hingga saat ini jumlah dokter di Indonesia bisa dikatakan cukup. Data Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) per 21 Juli 2018 mencapai 128.351 orang. Artinya, satu dokter melayani 2.025 penduduk (dengan asumsi penduduk Indonesia pada saat ini mencapai 260 juta jiwa).

Jika asumsi tersebut benar, maka jumlah ini sudah mendekati rasio ideal dokter seperti yang disyaratkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 1 berbanding 2500. Seorang dokter melayani 2.500 jiwa. Kementerian Kesehatan sendiri menargetkan rasio dokter di Indonesia mencapai 1 : 2000 dan konon itu sudah tercapai.

Hal yang seharusnya memerlukan perhatian khusus adalah terkait belum meratanya distribusi dokter. Jadi bukan rasio dokternya. Selama ini, pendirian FK baru dan penempatan dokter-dokter masih terpusat di Pulau Jawa.

Maldistribusi dokter ini sering terjadi karena minimnya insentif dan fasilitas di luar Jawa, utamanya di pulau-pulau terpencil, sehingga para dokter berpikir dua kali untuk mengabdi di pulau-pulau terpencil tersebut. Padahal seharusnya hal ini tidak menjadi masalah jika hak yang diperoleh dokter seimbang sesuai dengan kewajiban beban kerjanya.

Selama ini, pemerintah terkesan sangat mudah membuka Fakultas Kedokteran (FK) baru, sedangkan hasil akreditasi dan hasil UKMPPD-nya masih jauh dari harapan. Banyaknya pendirian FK baru dengan tanpa adanya seleksi secara ketat, justru akan menjadi beban bagi negara dimasa mendatang.

Merujuk pada keterangan Ketua KKI, Prof. Bambang Supriyatno pada diskusi “Menata Cetak Biru Sumber Daya IPTEK DIKTI Menuju Indonesia Emas” pada bulan Desember tahun lalu, ada 2.500 dokter muda yang gagal lulus UKMPPD. Jika merujuk rasio ideal satu dokter diharapkan melayani 2.000 penduduk, tentu saja jika ini terus dibiarkan maka akan menjadi problem nasional yang serius. Belum lagi ditambah dengan pertumbuhan dokter muda di Indonesia yang diperkirakan pertambahan itu mencapai 12.000 dokter muda pada tahun 2018 ini (Kepala BPPSDM Kemenkes).

Kesehatan adalah bagian dari ketahanan nasional, dan masalah ini tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar. Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa tahun 2019 nanti Indonesia akan fokus pada pembangunan sumber daya manusia (SDM).

Pembangunan SDM yang dimaksud oleh Presiden itu, tentu sangat berkaitan erat dengan pendidikan dan kesehatan. Kita dapat memulai menata masalah ini semua mulai dari peningkatan kualitas dokter (di Indonesia) sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di negeri yang terdiri 17.500 pulau ini. Semoga bisa. (*)

Editor: Bambang Bes

Berita Terkait

Jagaddhito Probokusumo

Jagaddhito Probokusumo

Penulis, adalah dokter lulusan FK Universitas Airlangga, saat ini peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Jantung dan Pembuluh Darah di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pengurus IDI Kota Surabaya, dan pernah menjabat Wakil Presiden Eksternal Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia 2014-2015,d an Ketua BEM FK UNAIR periode 2013-2014. (*)